OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa terpencil yang terlindungi pepohonan lebat, hidup seorang pemuda bernama Jati. Ia adalah anak seorang pemimpin desa kaya, namun sifatnya bertolak belakang dengan gelar ayahnya. Jati pemalas, terlalu gemar makan, dan hobinya tidur seharian.
Ibunya, seorang perempuan bijak yang sudah lelah menasehati, suatu sore berkata, "Jati, hidup ini bukan cuma soal perut kenyang dan badan segar. Kau harus lebih peka. Hiduplah seperti manusia sejati, bukan sekadar tubuh."
Jati hanya mendengus sambil mengunyah mangga. "Hidup ini sederhana, Bu. Kalau bisa makan dan tidur, untuk apa repot memikirkan yang tidak-tidak?"
Namun, malam itu, mimpinya berbeda. Ia berada di sebuah hutan sunyi, penuh pepohonan yang bergoyang meski tanpa angin. Seorang lelaki tua berjubah putih muncul di hadapannya. Matanya tajam seperti pisau, menusuk langsung ke dalam hati Jati.
"Siapa kau?" tanya Jati, bingung.
"Yang kau butuhkan," jawab lelaki itu singkat. Ia lalu melantunkan Tembang Kinanthi dari Serat Wulangreh. Suaranya bergema di antara pohon-pohon, seperti bisikan angin yang membawa kebenaran.
"Kurangi makan dan tidur?" gumam Jati, bingung. "Kenapa? Aku hidup baik-baik saja selama ini."
"Baik-baik saja? Kau seperti pohon mati yang berdiri tanpa akar. Jika badai datang, kau akan tumbang, bahkan sebelum sempat bertahan," kata lelaki tua itu sambil menunjuk ke arahnya.
Jati terbangun dengan napas tersengal. Kata-kata lelaki itu bergema di telinganya, mengguncang pikirannya.