OLEH: Khoeri Abdul Muid
Surya Kencana, kota kecil yang ambisius.
Dua nama besar pernah menyinari setiap sudutnya: Arjuna Mahardika dan Pramudya Karna. Bersama, mereka adalah simbol harapan, mengubah wajah kota dari korupsi menjadi transparansi. Namun, kepentingan perlahan mencabik persahabatan itu.
Pemilihan wali kota berikutnya membawa mereka ke jalan berbeda. Arjuna bertahan sebagai politisi independen, menjaga idealismenya untuk rakyat kecil. Pramudya, di sisi lain, bergabung dengan koalisi besar yang disokong oligarki demi percepatan pembangunan.
"Aku tak percaya ini, Dya," kata Arjuna di sebuah kafe usang tempat mereka dulu sering berdiskusi. "Kamu tahu siapa mereka. Mereka hanya ingin mencengkeram kota ini."
Pramudya tersenyum getir. "Dan kamu pikir kita bisa bertarung melawan mereka dengan idealisme kosong? Dunia ini bukan hitam putih, Jun. Aku memilih jalan yang bisa memberi hasil nyata."
"Nyata untuk siapa? Investor? Atau dirimu sendiri?" balas Arjuna, suaranya meninggi.
Pertemuan itu berakhir tanpa jawaban. Keduanya melangkah ke arah berlawanan, meninggalkan jejak rasa kecewa yang mendalam.
Kampanye memanas. Pramudya menjanjikan pembangunan kawasan industri dan infrastruktur megah. Arjuna menyerukan perlindungan rakyat kecil dan lingkungan.
Namun, di balik janji-janji itu, dokumen rahasia bocor ke tangan Arjuna. Proyek besar Pramudya melibatkan perusahaan yang diduga melakukan penggusuran ilegal dan pencemaran lingkungan. Lebih buruk lagi, dokumen itu memuat tanda tangan Pramudya, mengesahkan perjanjian gelap.