Lihat ke Halaman Asli

Garudaku di Dadaku

Diperbarui: 19 November 2024   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

freepik.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Dika berdiri di tengah lapangan bola, dikelilingi oleh sorakan anak-anak yang penuh semangat.

"Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku, Kuyakin hari ini pasti menang!" Mereka menyanyikan lagu itu seolah-olah seluruh dunia hanya berputar di sekitar kemenangan dan kebanggaan bangsa.

Tapi Dika merasa sesak. Suara mereka bergaung di telinganya, namun di hatinya, ada kegelisahan yang semakin besar. "Garuda di dadaku... tapi tanah kita sedang terluka." Begitu pikirnya.

Kakeknya pernah berkata, "Nasionalisme itu bukan sekadar kata-kata. Itu adalah darah yang mengalir, itu adalah hati yang berjuang." Tapi Dika mulai merasakan bahwa segala yang dia dengar---bendera, lagu, seruan itu---tak lebih dari sebuah bayangan kosong.

Di kedai kopi, ia duduk bersama Rian, temannya yang baru pulang dari luar negeri. "Bro, teknologi di sana maju pesat, kita masih tertinggal jauh," ujar Rian sambil memandang layar ponselnya. "Coba lihat, semua serba canggih, kita harus ikut arus!"

Dika memandangi Rian, matanya terfokus tajam. "Arus? Atau cuma ilusi yang kita kejar? Kita berpikir dengan ikut mereka, kita bisa maju. Tapi apa harga yang harus kita bayar?" Dika menjawab dengan suara datar. "Kita mengorbankan identitas kita, harga diri kita, dan tanah ini hanya untuk sebuah kemajuan semu."

Rian terdiam. Ia tahu Dika berbeda, lebih keras kepala, lebih gelisah dengan kenyataan yang ada. Tapi dia hanya tersenyum, seolah semuanya sudah jelas. "Bro, yang penting kita maju. Negara ini nggak akan bertahan kalau kita terus terjebak dalam masa lalu."

Dika merasa seperti dipukul di kepala. Ia mengalihkan pandangannya ke layar ponselnya. Berita terkini menghantam hatinya: "Pemerintah Menyetujui Penjualan Kekayaan Alam untuk Investasi Asing."

Dada Dika sesak. Itu bukan hanya berita biasa. Itu adalah pengkhianatan terhadap segala yang selama ini ia percayai. Tanah yang mereka cintai, sumber daya alam yang seharusnya bisa menjamin masa depan, kini dijual begitu saja. Semua untuk "kemajuan," tetapi harga kemajuan itu adalah kehilangan segalanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline