OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit Sukoharjo pagi itu penuh harapan.
Tim Sinergi Literasi tiba di Madrasah Islam Modern-Tahfidzul Quran (MIM-TQ) di Mbulu dengan semangat membara meski sinyal gawai hilang entah ke mana.
"Sinyal nol bar. Plan B?" tanya Rafi sambil mengangkat telepon yang hanya berfungsi sebagai pengingat waktu.
Dina mengangkat bahu sambil tersenyum percaya diri. "Tenang, Bos. Kalau teknologi nggak bisa jalan, kita bawa aksi panggung. Siapkan kostum dan mental, kita berubah jadi aktor digital!"
"Gila, aku jadi hacker lagi? Aku nggak dibayar cukup untuk ini," keluh Akbar sambil menarik topi hitam dari tasnya.
Di depan siswa, mereka memulai simulasi dramatis: Akbar menjadi hacker jahat, Dina dan Rafi jadi pahlawan digital yang menyelamatkan data para siswa. Suasana meriah, tawa pecah, tapi pelajaran tentang keamanan digital tersampaikan dengan cara yang segar dan tak terlupakan.
Sesi berikutnya bersama orang tua RA Al-Madina tak kalah menarik. Ketika seorang ibu mengeluh soal anaknya yang kecanduan gawai, Dina menjawab dengan penuh empati. "Bu, teknologi itu kayak gelombang laut. Anak-anak kita perahu. Kita nggak bisa hentikan ombak, tapi kita bisa jadi nahkoda, ngarahin mereka ke pantai yang aman."
Tepuk tangan riuh. Peserta tampak puas. Rafi menghela napas lega. Semua berjalan sesuai rencana.
Sore harinya, mereka mampir ke rumah Fikri untuk seminar daring Future Connections Summit. Sesi berjalan serius, sampai Dina melontarkan pertanyaan yang membuat pembicara tertegun. "Pak, teknologi memang alat. Tapi, apa jadinya kalau manusia terlalu sibuk dengan alat ini sampai lupa menjadi manusia?"