OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Ini semua bukan kebetulan," ucap Bima dengan suara serak, tatapannya menembus derasnya hujan di luar jendela yang nyaris gelap.
Lara duduk di depannya, wajahnya tirus dalam cahaya redup yang tak biasa. Ia menggenggam secangkir kopi, mengepulkan uap tipis yang samar. "Kalau begitu, kenapa aku harus datang? Apa gunanya aku mencoba mengingat kalau pada akhirnya kau selalu berpikir begini?"
Bima menelan ludah, tertegun oleh kata-katanya. Kata-kata itu menghantamnya seperti angin dingin yang menerobos jendela. Setiap kali ia menutup mata, bayangan malam itu, di sudut kota di bawah lampu jalan yang temaram, muncul kembali---malam ketika ia memilih pergi, meninggalkan Lara dalam derasnya hujan. Malam yang mengubah segalanya.
"Aku cuma... aku cuma ingin tahu. Siapa aku di matamu," ucapnya pelan, seperti menggumam, hampir untuk dirinya sendiri.
Lara tersenyum tipis, getir, seperti menahan tawa. "Kau selalu ingin tahu segalanya, Bima. Kau ingin aku mengingat, tapi ketika aku mencoba, kau malah pergi. Kau ingin jawaban, tapi selalu takut mendengar jawabanku."
Bima menatapnya dalam-dalam, merasa ada yang aneh---sesuatu yang tak biasa, yang tak pernah ia sadari. Tatapannya yang dulu terasa hangat, kini terasa dingin dan asing. Kilatan dari hujan di luar tampak memudar, menyisakan sunyi yang menyesakkan. Bima merasakan ruangan itu semakin gelap, seolah lampu meredup satu per satu.
"Jadi... apa sekarang, Bima?" Lara mendekat, hanya beberapa inci dari wajahnya. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Bima merasakan napasnya terhenti, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya. "Mungkin... mungkin aku cuma takut."
"Takut pada apa?" bisik Lara, begitu lembut tapi menusuk.