Lihat ke Halaman Asli

Secangkir Kopi, Kearifan Lokal dalam Setiap Seruput

Diperbarui: 26 Oktober 2024   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Site News/detik.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

"Apakah kopi hanya sekadar minuman?"

Nadia memandangi cangkir kopinya. Di hadapannya, Reza, sahabat lamanya, menatapnya dengan alis terangkat.

"Kenapa tiba-tiba filosofis gitu?" tanya Reza, tersenyum sambil menyeruput kopinya.

Nadia terdiam sejenak, menggenggam cangkirnya. "Reza, pernah nggak kamu bayangin berapa banyak tangan yang menyentuh biji kopi ini sebelum sampai ke kita?"

Reza mengerutkan kening. "Maksudmu petani kopi?"

Nadia mengangguk pelan, suaranya mulai lirih. "Iya... petani yang kerja keras di bawah terik matahari, tapi dibayar cuma secuil dari harga yang kita bayar di sini. Setiap biji kopi ini mengandung keringat dan cerita, Reza."

Reza tertawa kecil, "Jadi menurutmu, kita nggak boleh minum kopi ini? Karena beban moralnya?"

"Bukan begitu," sahut Nadia cepat. "Aku cuma ingin kita sadar... sadar kalau di balik aroma ini, ada kisah perjuangan yang sering kali kita lupakan. Dulu di Turki abad ke-16, wanita bisa minta cerai kalau suaminya nggak nyediain kopi buat mereka. Di Swedia abad ke-18, kopi dianggap sebagai simbol perlawanan pada kerajaan."

Reza menatapnya lebih serius, "Jadi, buatmu kopi ini lebih dari sekadar minuman?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline