OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah tawa selalu membawa kebahagiaan? Apakah sebuah candaan tak pernah melukai hati?
Pagi itu di SD Negeri Kuryokalangan 02, pertanyaan-pertanyaan ini tak pernah terlintas di benak para siswa yang tengah sibuk mempersiapkan lomba pantun jenaka. Suasana lapangan ramai, penuh dengan canda tawa, tapi tak semua hati di sana riang.
Bu Hartini, wali kelas yang terkenal penuh perhatian, berdiri di tengah lapangan, memastikan acara berjalan lancar. "Ingat, anak-anak, pantun jenaka itu untuk menghibur, bukan untuk menyakiti. Hati-hati memilih kata-kata."
Namun, di sudut kelas, seorang anak duduk termenung. Ardi, siswa yang biasanya ceria, tampak murung. Ia menatap kertas di tangannya yang masih kosong, sementara teman-temannya sudah sibuk mempersiapkan pantun jenaka mereka.
"Kenapa, Di? Kamu belum buat pantunnya?" tanya Siti, sahabatnya, yang datang menghampiri.
Ardi menunduk, tangannya gemetar. "Aku takut pantunku nggak lucu. Aku nggak pandai membuat orang tertawa. Semua orang pasti akan mengejekku."
Siti terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia tahu betul bagaimana Ardi sering menjadi sasaran lelucon teman-temannya, lelucon yang sering kali terlalu tajam untuk diabaikan.
Saat itulah Bu Hartini mendekat. "Ardi, kamu tidak perlu takut. Kadang yang sederhana itu yang paling menghibur. Coba, apa yang ingin kamu sampaikan?"
Ardi ragu-ragu, tapi akhirnya mencoba. "Bu... kalau ini gimana? 'Burung gelatik, lagi hinggap di batu. Kamu memang cantik, tapi kok badannya bau.'"