Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Kamu Selalu Bikin Aku Senyum?

Diperbarui: 19 Oktober 2024   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pasangan cinta, romantis. (Photo by Ryan Holloway on Unsplash)

IOLEH: Khoeri Abdul Muid

Langit sore di taman kota sudah mulai berubah oranye, menciptakan siluet panjang dari pepohonan dan bangku-bangku kosong. Di tengah kedamaian itu, Mia dan Fajar duduk berdampingan, seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang berbeda sore ini. Ada ketegangan tak terlihat di antara tawa mereka.

"Kenapa kamu selalu bisa bikin aku senyum, Faj?" suara Mia terdengar nyaris berbisik, tapi berat, penuh arti. Matanya tak lagi memandang langit, tapi lurus menatap Fajar. Ia mencari jawaban yang lebih dari sekadar lelucon atau rayuan gombal biasa.

Fajar, yang tadinya asyik menikmati langit senja, menoleh pelan. Senyum tipisnya tetap ada, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Mungkin karena senyummu itu adalah satu-satunya yang bikin aku merasa hidup," jawabnya, suaranya rendah, hampir seperti rahasia yang baru saja terungkap.

Mia tertawa kecil, tapi nada tawanya goyah. "Gombal terus, ya. Serius, deh. Kamu selalu punya cara buat bikin aku merasa... baik-baik saja, meski dunia di sekitarku sering kali berantakan."

Fajar menatapnya lebih lama, senyumnya memudar. "Mungkin karena aku tahu gimana rasanya berada di dunia yang berantakan, Mi. Kadang kita cuma butuh seseorang yang bisa bikin kita lupa sejenak dari semua itu."

Mia terdiam. Ada getaran di dadanya yang tak biasa. Angin sore yang biasanya membawa kedamaian kini terasa dingin, menelusup ke kulit, seolah mengingatkannya akan kenyataan yang tak bisa ia abaikan.

"Kamu tahu, Faj," Mia berkata pelan, suaranya hampir retak. "Aku sering bertanya-tanya... kenapa kamu bisa begitu mudah bikin aku bahagia, sementara aku tahu... di dalam dirimu, ada banyak hal yang kamu sembunyikan. Ada rasa sakit yang nggak pernah kamu ceritakan."

Fajar membuang pandangannya ke arah jalan setapak yang sepi. Wajahnya yang biasanya ceria kini berubah kelam, seperti langit yang perlahan kehilangan sinar matahari.

"Karena, Mia," Fajar menarik napas dalam-dalam, "aku lebih memilih melihatmu bahagia daripada harus menghadapi kenyataan bahwa aku sendiri mungkin nggak akan pernah benar-benar bisa merasa seperti itu lagi."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline