Lihat ke Halaman Asli

Koordinasi Tanpa Malu

Diperbarui: 18 Oktober 2024   10:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: antara.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apakah etika politik masih mengenal rasa malu? Bagaimana kita memaknai perpindahan dari rivalitas yang keras menjadi aliansi yang tanpa beban? Rivalitas seharusnya mencerminkan prinsip dan perbedaan ideologi yang mendalam, namun ketika seorang tokoh yang dulu berdiri sebagai oposisi kini mengaku siap "mengkoordinir" dengan tanpa ragu, apakah ada ruang bagi rasa malu?

Dalam politik, yang semestinya dibangun di atas integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai, kita justru sering menyaksikan lompatan-lompatan dramatis dari satu kubu ke kubu lain. Mereka yang sebelumnya saling menentang, bahkan dalam rivalitas sengit di panggung pilpres, kini duduk di meja yang sama, berkolaborasi seolah tak ada sejarah permusuhan. Di manakah rasa malu ketika seorang tokoh yang dulu lantang bersuara kritis terhadap lawan, sekarang dengan mudahnya mendekat dan mengambil peran "mengkoordinir"?

Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: apakah loyalitas dalam politik hanyalah sementara, tak lebih dari alat tawar-menawar? Dalam perspektif etika malu, orang yang beralih dari musuh menjadi sekutu tanpa proses refleksi seharusnya menghadapi perasaan canggung atau bahkan malu. Namun di sini, politik seakan meniadakan rasa malu tersebut, menggantinya dengan sikap pragmatisme yang dingin, di mana pergeseran posisi menjadi hal yang biasa. Yang dulu lawan, sekarang kawan. Yang dulu musuh, sekarang mitra. Tanpa ekspresi, tanpa penjelasan, seolah sejarah tak berarti.

Jika dilihat dari sudut filsafat kekuasaan, pergantian ini bisa dilihat sebagai kemenangan realpolitik, di mana tujuan menghalalkan segala cara. Dalam pandangan Machiavellian, ini mungkin dianggap sah-sah saja---kekuasaan adalah tentang bertahan dan beradaptasi. Tetapi, dari perspektif etika publik, apakah ini yang diharapkan rakyat? Haruskah kita menerima bahwa etika dan rasa malu telah lenyap di panggung politik, tersingkir oleh kebutuhan untuk bertahan dan berbagi kekuasaan?

Selain itu, teori representasi menuntut bahwa seorang pemimpin seharusnya mewakili aspirasi dan prinsip yang ia pegang teguh, bukan sekadar berpindah posisi sesuai angin politik. Tapi di sini, yang tampak justru kosongnya prinsip tersebut. Mungkin, inilah alasan mengapa "mengkoordinir" menjadi kata yang begitu ringan: ia tak perlu menjelaskan posisi apa, ide apa, atau nilai apa yang dibawa. Cukup "mengkoordinir" tanpa perlu malu pada rakyat yang menyaksikan perubahan itu.

Malu seharusnya menjadi rem moral, menjadi pengingat bahwa ada prinsip yang lebih besar dari sekadar kepentingan sesaat. Namun ketika politik bisa berputar tanpa henti antara rivalitas dan aliansi tanpa tanda-tanda canggung, maka hilanglah batas antara prinsip dan oportunisme. "Koordinasi tanpa malu" ini hanya menegaskan betapa cairnya dunia politik---begitu cair, sehingga moralitas pun tenggelam dalam arus kepentingan pragmatis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline