Lihat ke Halaman Asli

Multilateralisme di Ujung Tanduk: Ketika Kekuatan Global Melanggar Hukum Internasional, Apa yang Tersisa?

Diperbarui: 11 Oktober 2024   22:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menlu Retno Marsudi di sela-sela KTT ASEAN Laos (Foto: dok. Setwapres)

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Bagaimana kita bisa mempertahankan perdamaian dunia jika prinsip-prinsip yang menopang hukum internasional secara terus-menerus dilanggar?

Ketika Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, dengan tegas mengecam serangan Israel terhadap markas Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa di Lebanon (UNIFIL), pertanyaan ini kembali mengemuka. Serangan tersebut tidak hanya melukai dua penjaga perdamaian asal Indonesia, tetapi juga menantang dasar-dasar multilateralisme dan hukum humaniter internasional. Apakah sistem internasional masih efektif ketika pelanggaran terang-terangan terhadap perdamaian terjadi?

Multilateralisme adalah fondasi tata dunia modern, sebuah cara bagi negara-negara untuk menyelesaikan konflik dan menjaga perdamaian melalui dialog, kerja sama, dan aturan hukum. Namun, seperti yang disampaikan Retno, serangan ini merupakan ancaman langsung terhadap multilateralisme itu sendiri.

Filsuf politik Immanuel Kant, dalam esainya "Perpetual Peace," menegaskan bahwa perdamaian hanya dapat dicapai jika negara-negara menghormati aturan dan komitmen bersama. Ketika Israel menyerang UNIFIL, ia tidak hanya menyerang sekelompok individu yang mengenakan helm biru, tetapi juga menyerang gagasan perdamaian global yang diusung oleh PBB.

Retno mengingatkan kita bahwa serangan ini merupakan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Hukum ini, yang secara khusus diatur dalam Konvensi Jenewa, melindungi mereka yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, termasuk pasukan penjaga perdamaian. Hukum ini dibentuk dengan prinsip universalitas, bahwa dalam konflik, ada batasan moral dan legal yang harus dihormati.

Namun, jika hukum ini terus-menerus dilanggar tanpa konsekuensi, maka legitimasi hukum internasional itu sendiri berada dalam bahaya. Dalam hal ini, pandangan ahli hukum Hans Kelsen tentang supremasi hukum internasional menjadi relevan; ketika negara-negara gagal untuk mematuhi hukum internasional, mereka melemahkan tatanan hukum global yang menjadi penopang stabilitas dunia.

Retno juga menyentuh aspek yang lebih dalam, yaitu kredibilitas Dewan Keamanan PBB. Sebagai lembaga yang seharusnya menjaga perdamaian dan keamanan internasional, Dewan Keamanan sering kali terperangkap dalam dinamika politik yang rumit antara negara-negara besar. Israel, yang memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat, sering kali mendapatkan perlindungan politik dari veto AS di Dewan Keamanan.

Dalam konteks ini, teori realpolitik mengajarkan kita bahwa kepentingan nasional dan kekuasaan sering kali mengalahkan komitmen moral dan hukum. Namun, jika Dewan Keamanan terus gagal bertindak, apakah itu berarti sistem multilateralisme yang kita yakini sedang mengalami disintegrasi?

Sebaliknya, Retno menyerukan kepada Amerika Serikat---sebagai anggota tetap Dewan Keamanan---untuk bertindak dan memastikan keselamatan pasukan UNIFIL. Seruan ini penting karena AS, dengan pengaruh globalnya, memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk mendukung perdamaian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline