Lihat ke Halaman Asli

Tanggal 13 Oktober Diperingati sebagai Hari Apa? Sebuah Renungan Filosofis tentang Kegagalan

Diperbarui: 11 Oktober 2024   07:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kegagalan sebelum meraih kesuksesan.(Shutterstock)/kompas.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

 

Apakah kegagalan adalah akhir, atau justru awal yang baru?

 

Tanggal 13 Oktober 2024 diperingati sebagai Hari Kegagalan Internasional. Sebuah hari yang diinisiasi oleh mahasiswa Finlandia untuk merayakan kegagalan sebagai bagian dari proses menuju kesuksesan. Namun, lebih dari sekadar perayaan, hari ini memicu refleksi mendalam tentang kegagalan dalam hidup, bagaimana kita memaknai kegagalan dari perspektif hukum, sportivitas, filsafat, hingga agama.

 

Dari sudut pandang Islam, kegagalan tidaklah asing. Dalam Al-Qur'an, Allah menekankan bahwa kehidupan dunia ini adalah ujian, sebuah proses yang penuh dengan kesulitan dan tantangan. Kegagalan adalah bagian dari ujian itu. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 286, Allah berfirman bahwa Dia tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, kegagalan adalah kesempatan bagi manusia untuk belajar, berusaha lebih keras, dan bersabar. Lebih penting lagi, kegagalan mengajarkan kita untuk kembali pada Allah, mengingat bahwa keberhasilan yang sejati datang hanya dari-Nya.

 

Filosof besar seperti Nietzsche juga memandang kegagalan dengan cara yang berbeda. Baginya, kegagalan adalah sarana untuk menjadi lebih kuat. Dalam konsep amor fati atau cinta pada takdir, Nietzsche menyarankan agar manusia menerima segala sesuatu yang terjadi, baik dan buruk, termasuk kegagalan. Dengan menerima kegagalan, manusia dapat bangkit lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih tangguh.

 

Dari perspektif hukum dan sportivitas, kegagalan sering kali muncul dalam bentuk kekecewaan terhadap ketidakadilan. Misalnya, dalam konteks olahraga atau pertandingan, kekalahan yang disebabkan oleh keputusan wasit yang kontroversial bisa dianggap sebagai kegagalan, tetapi juga membuka ruang bagi perbaikan sistem. Sama seperti pada kasus wasit Ahmed Al Kaf yang memimpin pertandingan Timnas Indonesia melawan Bahrain. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah keputusan wasit yang memperpanjang waktu hingga gol penyeimbang itu pantas dianggap sebagai "kegagalan" bagi Timnas Indonesia? Atau apakah itu hanyalah bagian dari dinamika olahraga yang penuh dengan ketidakpastian dan ketidakadilan yang harus dihadapi dengan sportivitas?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline