Lihat ke Halaman Asli

Tradisi Penyambutan Presiden di Istana, Refleksi Filosofis dan Politik Kekuasaan

Diperbarui: 11 Oktober 2024   07:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompas.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apa arti sesungguhnya dari sebuah tradisi penyambutan di Istana Merdeka? Apakah itu sekadar seremonial formal yang dibalut tata upacara militer, atau lebih dari itu---sebuah perwujudan simbolis tentang esensi kekuasaan dan kontinuitas negara?

Di balik ritual penyambutan presiden baru, yang dimulai oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dilanjutkan oleh Joko Widodo (Jokowi), tersimpan refleksi mendalam tentang filsafat politik. Pergantian pemimpin dalam sebuah negara demokratis adalah momen di mana kekuasaan, yang seringkali dianggap absolut atau personal, justru terbukti sebagai entitas yang lebih besar daripada individu-individu yang memegangnya. Negara hadir sebagai entitas yang memiliki "jiwa" sendiri, yang mampu bertahan dari waktu ke waktu, sementara para pemimpinnya datang dan pergi.

Filsuf Thomas Hobbes pernah berargumen dalam Leviathan bahwa negara adalah manifestasi dari kehendak kolektif rakyat, sebuah "badan politik" yang bersifat abadi. Dalam konteks ini, tradisi penyambutan presiden baru bukan hanya soal serah terima kekuasaan, melainkan sebuah penegasan bahwa negara adalah lembaga yang terus berjalan, tak terhentikan oleh perubahan personalia. Di saat yang sama, pergantian presiden ini juga merupakan ekspresi dari kesadaran akan transisi yang damai, di mana rivalitas politik tak berakhir dengan kekerasan atau ketidakstabilan, melainkan dengan harmoni dan penghormatan.

Dalam perspektif hukum, upacara penyambutan ini dapat dibaca sebagai cerminan dari rule of law---hukum di atas segalanya. Presiden, terlepas dari siapa pun dia, tunduk pada aturan dan konstitusi yang sama. Momen penyambutan ini adalah pernyataan bahwa jabatan presiden bukanlah milik individu, melainkan amanah yang diberikan oleh rakyat, dan harus diserahkan ketika waktunya tiba. Di sini, terwujud legitimacy of power, di mana kekuasaan hanya sah apabila diberikan oleh rakyat melalui mekanisme konstitusional.

Dari perspektif politik, ini menyoroti pemahaman yang lebih luas tentang transisi kepemimpinan. Dalam tradisi penyambutan yang kini diwariskan, terdapat pembelajaran penting bagi demokrasi Indonesia. Ini menunjukkan bahwa perbedaan politik, meskipun tajam selama masa kampanye, dapat direkonsiliasi dalam semangat kebangsaan. SBY, dalam menciptakan tradisi ini, tampaknya ingin menegaskan bahwa meski para pemimpin bisa berseberangan dalam pandangan, mereka harus tetap menghormati proses demokrasi yang melibatkan pergantian kepemimpinan.

Jokowi melanjutkan tradisi ini dengan menyambut Prabowo Subianto, lawan politiknya selama dua pemilu berturut-turut, sebagai presiden terpilih. Di sini, kita melihat dialektika Hegelian tentang sejarah, di mana tesis dan antitesis bersatu dalam sintesis baru. Pertentangan antara Jokowi dan Prabowo dalam ranah politik mencapai resolusi dalam bentuk persatuan nasional yang lebih besar, mencerminkan kesadaran bahwa kepentingan negara lebih tinggi daripada ambisi personal.

Secara sosiologis, tradisi ini juga menjadi pelajaran penting bagi masyarakat. Ia mengajarkan bahwa politik bukanlah medan perang tanpa akhir, melainkan ruang di mana perbedaan dapat diatasi dengan cara yang damai dan terhormat. Ini adalah pesan bagi masyarakat bahwa demokrasi kita bukan hanya soal kemenangan dan kekalahan, tetapi juga soal bagaimana menerima hasil dan bergerak maju bersama.

Dengan demikian, tradisi penyambutan presiden di Istana Merdeka adalah sebuah simbol yang mengandung banyak lapisan makna. Ia bukan sekadar ritual formal, tetapi refleksi tentang keberlanjutan negara, supremasi hukum, dan kebijaksanaan politik dalam demokrasi. Tradisi ini mengingatkan kita bahwa di tengah pergantian pemimpin, esensi negara sebagai penjaga keutuhan dan kepentingan rakyat tetap abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline