Apakah suara bisa dipengaruhi oleh strategi, ataukah kekuasaan itu sejatinya hanya ilusi yang dimainkan oleh angin politik?
Dalam Pilgub Jawa Timur 2024, tiga srikandi berjuang memperebutkan suara rakyat---Khofifah, Risma, dan Luluk. Namun, apakah kemenangan politik semata hanya soal angka, atau ada makna yang lebih dalam di balik pencarian kekuasaan ini?
Filosofi Kuasa dan Kepemimpinan
Kuasa sering dilihat sebagai sesuatu yang bisa direbut dan dikendalikan. Filsuf Michel Foucault mengingatkan kita bahwa kuasa tidak bersifat statis; ia bergerak, berubah, dan tersebar melalui jaringan relasi sosial.
Jika masuk pada konteks politik, kuasa bukan hanya soal siapa yang memimpin, tapi bagaimana pemimpin tersebut mampu mempengaruhi dan membentuk pandangan serta tindakan orang-orang di sekitarnya.
Pilgub Jawa Timur adalah sebuah representasi nyata dari teori ini. Khofifah Indar Parawansa, sebagai petahana, sudah menanamkan "investasi" politiknya selama bertahun-tahun, membentuk jaringan yang kuat di akar rumput, khususnya melalui hubungan dengan para tokoh kultural NU.
Risma, dengan popularitasnya sebagai mantan Wali Kota Surabaya, mengandalkan rekam jejak dan pendekatan "resik-resik" dalam visinya.
Sementara itu, Luluk Nur Hamidah berusaha menonjolkan gagasan perubahan, menawarkan alternatif kepada mereka yang tidak puas dengan kepemimpinan sebelumnya. Namun, apakah strategi-strategi ini cukup untuk memenangkan hati rakyat?
Teknologi dan Politik: Memetakan Suara dengan Data
Dalam era digital, kuasa sering kali direduksi menjadi angka-angka: elektabilitas, survei, dan data pemilih.