Lihat ke Halaman Asli

Tiga Srikandi dan Pertarungan Suara, Refleksi Filosofis dari Jawa Timur

Diperbarui: 10 Oktober 2024   12:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

detik.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apakah suara bisa dipengaruhi oleh strategi, ataukah kekuasaan itu sejatinya hanya ilusi yang dimainkan oleh angin politik? Dalam Pilgub Jawa Timur 2024, tiga srikandi berjuang memperebutkan suara rakyat---Khofifah, Risma, dan Luluk. Namun, apakah kemenangan politik semata hanya soal angka, atau ada makna yang lebih dalam di balik pencarian kekuasaan ini?

Filosofi Kuasa dan Kepemimpinan

Kuasa sering dilihat sebagai sesuatu yang bisa direbut dan dikendalikan. Filsuf Michel Foucault mengingatkan kita bahwa kuasa tidak bersifat statis; ia bergerak, berubah, dan tersebar melalui jaringan relasi sosial. Dalam konteks politik, kuasa bukan hanya soal siapa yang memimpin, tapi bagaimana pemimpin tersebut mampu mempengaruhi dan membentuk pandangan serta tindakan orang-orang di sekitarnya.

Pilgub Jawa Timur adalah sebuah representasi nyata dari teori ini. Khofifah Indar Parawansa, sebagai petahana, sudah menanamkan "investasi" politiknya selama bertahun-tahun, membentuk jaringan yang kuat di akar rumput, khususnya melalui hubungan dengan para tokoh kultural NU. Risma, dengan popularitasnya sebagai mantan Wali Kota Surabaya, mengandalkan rekam jejak dan pendekatan "resik-resik" dalam visinya. Sementara itu, Luluk Nur Hamidah berusaha menonjolkan gagasan perubahan, menawarkan alternatif kepada mereka yang tidak puas dengan kepemimpinan sebelumnya. Namun, apakah strategi-strategi ini cukup untuk memenangkan hati rakyat?

Teknologi dan Politik: Memetakan Suara dengan Data

Dalam era digital, kuasa sering kali direduksi menjadi angka-angka: elektabilitas, survei, dan data pemilih. Survei elektabilitas yang menunjukkan Khofifah-Emil di posisi teratas mengisyaratkan adanya korelasi antara kedekatan dengan para kiai dan jumlah dukungan yang signifikan di akar rumput. Namun, apakah angka-angka ini bisa benar-benar mencerminkan realitas yang lebih luas?

Ilmu data dan teknologi saat ini memungkinkan para calon untuk merancang strategi berdasarkan analisis data besar (big data), mengidentifikasi pola perilaku pemilih, dan menyesuaikan kampanye untuk meraih simpati lebih besar. Namun, dalam esensinya, apakah teknologi ini bisa benar-benar menangkap kerumitan batin manusia, yang kadang memilih bukan berdasarkan logika, tapi berdasarkan emosi, kepercayaan, atau bahkan "fatsun sami'na wa atho'na"?

Gagasan 'Fatsun' dan Politik Kultural

Dalam konteks Jawa Timur, khususnya di kalangan masyarakat NU, konsep 'fatsun sami'na wa atho'na' (mendengar dan taat) memainkan peran kunci. Ini bukan sekadar soal kepatuhan buta, melainkan sebuah bentuk kepercayaan mendalam terhadap otoritas moral dan spiritual yang melekat pada para kiai dan tokoh agama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline