OLEH: Khoeri Abdul muid
Apa yang tersisa dari kehormatan manusia ketika privasi hanya menjadi mitos, dan ketenaran diukur dengan likes dan shares?
Pertanyaan ini memaksa kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang dulu begitu jelas, namun kini kabur di tengah arus deras era digital. Ketika video vulgar sepasang kekasih dari Jambi menjadi viral, kita tidak hanya dihadapkan pada skandal pornografi, tetapi juga pada krisis moralitas yang jauh lebih mendalam.
Dalam perspektif Islam, kehormatan manusia adalah salah satu aspek yang dijunjung tinggi. Manusia diberi martabat sebagai makhluk ciptaan Allah yang sempurna, dan segala bentuk perilaku yang merendahkan martabat itu, baik disengaja atau tidak, adalah bentuk penghianatan terhadap amanah yang telah diberikan.
Dalam kasus ini, kesalahan moral bukan hanya terletak pada mereka yang terlibat dalam pembuatan konten terlarang, tetapi juga pada kita sebagai masyarakat yang gemar mengonsumsi, menyebarkan, dan menormalisasi hal-hal yang merusak moralitas.
Dalam filsafat eksistensialisme, Jean-Paul Sartre berbicara tentang kebebasan individu dan tanggung jawab yang menyertainya. Kebebasan tidak berarti kita bebas melakukan apa saja tanpa konsekuensi; justru sebaliknya, kebebasan membawa beban tanggung jawab yang berat.
Ketika sepasang kekasih tersebut memilih untuk merekam tindakan intim mereka, mereka tidak hanya menggunakan kebebasan mereka secara sembrono, tetapi juga gagal menyadari tanggung jawab sosial yang mereka emban. Sebagai manusia yang hidup di tengah masyarakat, tindakan kita tidak bisa hanya dinilai dari sudut pandang pribadi, tetapi juga dari dampaknya terhadap orang lain.
Islam sendiri memberikan petunjuk jelas tentang adab dalam menjaga diri dan orang lain. Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barang siapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat."
Ajaran ini menunjukkan pentingnya menjaga kehormatan sesama manusia, dan betapa besarnya konsekuensi dari mempermalukan atau membuka aib orang lain. Maka, penyebaran video porno tersebut bukan hanya masalah hukum pidana, tetapi juga melibatkan dosa sosial yang mempermalukan dan mencemari harga diri manusia.
Namun, di sisi lain, kasus ini juga membuka mata kita akan bahaya era digital yang sering kali tidak memberikan ruang untuk kesalahan. Ketika informasi pribadi kita begitu mudah diakses dan disebarkan, di mana letak batasan antara kebebasan berbicara dan hak privasi?