Lihat ke Halaman Asli

Di Antara Realpolitik dan Moralitas, Kepemimpinan Tanpa Bulan Madu

Diperbarui: 8 Oktober 2024   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

news.harianjogja.com

OLEH: Khoeri Abdul muid

Apakah setiap pemimpin baru harus selalu mendapat kesempatan untuk menata diri, ataukah dunia tidak akan menunggu?

Pertanyaan ini mengemuka ketika kita melihat Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang pada 20 Oktober 2024 akan menghadapi dunia yang penuh dengan konflik geopolitik dan masalah domestik. Di antara tuntutan dunia internasional dan kebutuhan domestik, bagaimana mereka dapat mempertahankan keseimbangan antara prinsip dan pragmatisme?

Filsafat politik mengajarkan kita bahwa kepemimpinan selalu berada di persimpangan antara moralitas dan realpolitik. Prabowo, yang dikenal tegas, dan Gibran, yang masih hijau di kancah politik nasional, tidak akan memiliki waktu untuk "bulan madu."

Mereka akan langsung berhadapan dengan isu-isu kompleks yang melibatkan konflik Israel-Palestina, yang kini merambah ke Lebanon dan Iran, serta ketegangan Laut China Selatan yang semakin memanas. Di dalam negeri, tantangan pertumbuhan ekonomi, korupsi yang merajalela, dan harapan besar masyarakat akan janji kampanye menjadi batu uji bagi keberanian dan kebijaksanaan mereka.

Dari perspektif hukum internasional, isu-isu yang mereka hadapi bukan hanya masalah politik, tetapi juga melibatkan kewajiban moral dan hukum. Konflik Israel-Palestina, misalnya, menguji posisi Indonesia sebagai negara yang selama ini mendukung kemerdekaan Palestina.

Namun, dalam diplomasi internasional, Prabowo diharapkan menggunakan hubungan pribadinya dengan tokoh-tokoh Judaisme untuk menjembatani dialog. Ini menempatkan Indonesia di tengah-tengah kontradiksi: mendukung Palestina, tetapi juga membuka pintu dialog dengan Israel demi perdamaian yang lebih luas.

Teori hubungan internasional, terutama realisme, akan melihat tindakan Prabowo dan Gibran dalam konteks upaya mempertahankan kekuatan dan stabilitas. Realisme mengajarkan bahwa negara harus bertindak berdasarkan kepentingan nasional mereka sendiri, bukan semata-mata pada nilai moral.

Dalam hal ini, peran Indonesia dalam konflik Laut China Selatan dan ketegangan Timur Tengah akan ditentukan oleh bagaimana mereka dapat menjaga stabilitas regional dan kepentingan ekonomi domestik, seperti yang diprediksi oleh Aleksius Jemadu bahwa peningkatan harga minyak akibat konflik Timur Tengah dapat memengaruhi anggaran negara.

Namun, apakah pendekatan realpolitik ini cukup? Dalam filsafat politik, Immanuel Kant berbicara tentang "etika universal," di mana tindakan moral harus berlaku di semua tempat dan waktu, tidak hanya saat itu menguntungkan. Prabowo dan Gibran harus menghadapi dilema moral ini: bagaimana memediasi perdamaian antara Israel dan Palestina tanpa mengorbankan prinsip-prinsip etika yang dipegang oleh bangsa Indonesia?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline