Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Menolak Jadi Menteri? Kekuasaan, Prinsip, dan Kalkulasi Politik di Era Prabowo

Diperbarui: 8 Oktober 2024   05:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(edywhyono_detik.com)

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apakah penolakan jabatan menteri adalah bentuk pengorbanan pribadi, strategi politik, atau sinyal tentang tantangan pemerintahan baru?

Ketika Prabowo Subianto bersiap untuk memimpin Indonesia, tawaran jabatan menteri dalam kabinetnya menjadi sorotan. Menariknya, tiga tokoh penting---Hashim Djojohadikusumo, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Khofifah Indar Parawansa---memutuskan untuk menolak tawaran tersebut. Apa yang sebenarnya mendasari keputusan mereka? Dalam konteks politik dan hukum, penolakan ini menimbulkan pertanyaan lebih mendalam tentang kalkulasi kekuasaan, loyalitas politik, dan stabilitas pemerintahan.

Dari sudut pandang politik, keputusan menolak posisi menteri dalam kabinet bisa dilihat sebagai bagian dari kalkulasi strategis yang lebih besar. Hashim, yang notabene adalah adik kandung Prabowo dan memiliki kedekatan politik, memilih untuk tidak berada di dalam lingkaran eksekutif. Ini bisa menjadi cerminan dari teori politik nepotisme dan potensi konflik kepentingan. 

Hashim mungkin menyadari bahwa kehadirannya di dalam kabinet justru dapat menimbulkan persepsi negatif tentang kolusi keluarga dalam pemerintahan. Penolakannya bisa jadi merupakan langkah preventif untuk menjaga integritas politik Prabowo di mata publik. Teori good governance menekankan pentingnya menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, dan langkah Hashim mungkin dipandang sebagai cara untuk mendukung hal ini dari luar.

Di sisi lain, Luhut Binsar Pandjaitan, yang selama ini menjadi tokoh kunci di berbagai kabinet, memilih untuk mengambil peran sebagai penasihat daripada menteri. Penolakan ini bisa dilihat dari perspektif teori "legacy politics," di mana seorang politisi senior seperti Luhut lebih memilih meninggalkan jejak kepemimpinannya di balik layar, tanpa harus terlibat langsung dalam operasional kabinet. 

Langkah ini juga menunjukkan bagaimana Luhut, dengan pengalaman luas di sektor maritim dan investasi, ingin memastikan bahwa pengaruhnya tetap signifikan tanpa harus berada di garis depan. Secara politik, ini bisa dilihat sebagai langkah untuk tetap relevan tanpa terjebak dalam dinamika internal pemerintahan baru yang berpotensi menguras energi dan membatasi manuver.

Khofifah Indar Parawansa, yang memilih untuk fokus pada pemilihan gubernur Jawa Timur daripada menjadi menteri, membawa kita pada perspektif hukum dan elektoral. Sebagai calon gubernur, Khofifah harus menjaga integritas kampanyenya dan fokus pada kebutuhan konstituen lokalnya. 

Keputusan untuk menolak kursi menteri mungkin mencerminkan komitmennya terhadap tanggung jawab politik di tingkat daerah. Menurut teori political commitment, seorang politisi harus menjaga kesetiaan terhadap pemilihnya dan tidak tergoda oleh kekuasaan di tingkat nasional. Khofifah memahami bahwa mengalihkan fokusnya ke posisi menteri bisa memperlemah posisinya di Pilkada Jatim, di mana ia memiliki tanggung jawab langsung terhadap konstituen yang telah memberinya mandat.

Penolakan tiga tokoh ini juga bisa dibaca melalui teori kekuasaan dan legitimasi politik. Ketika tokoh-tokoh dengan pengaruh besar menolak untuk bergabung dengan kabinet, hal ini bisa menjadi sinyal bagi pemerintahan baru bahwa mereka harus membangun legitimasi yang kuat dari basis lain, seperti partai politik atau kelompok masyarakat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline