Lihat ke Halaman Asli

Refleksi atas Pancasila, Mengapa Ia Tak Boleh Disamakan dengan Pilar Lain?

Diperbarui: 30 September 2024   05:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Newnaratif.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Penghapusan istilah Empat Pilar Kebangsaan oleh Mahkamah Konstitusi adalah lebih dari sekadar tindakan hukum; ini adalah upaya untuk menjaga kemurnian dan ketepatan dalam penempatan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. 

Kita perlu bertanya, seberapa penting ketepatan dalam menempatkan ideologi sebuah bangsa? Dan bagaimana kita memahami dampak jika ideologi yang seharusnya menjadi pondasi utama disamakan kedudukannya dengan komponen lainnya, seolah-olah itu hanyalah salah satu tiang dalam bangunan negara?

Dalam ajaran Islam, salah satu prinsip penting yang diajarkan adalah tauhid, yaitu keesaan Allah yang tidak boleh disamakan atau disetarakan dengan apa pun. Tauhid adalah fondasi keyakinan yang absolut dan mutlak. 

Jika prinsip ini diganggu, maka seluruh bangunan keimanan runtuh. Dalam konteks negara, ideologi Pancasila menempati posisi yang serupa: ia adalah inti, fondasi dari seluruh sistem dan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika disetarakan dengan unsur lain seperti UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, atau NKRI---yang sesungguhnya merupakan ekspresi dari Pancasila itu sendiri---maka kita telah menggoyahkan dasar ideologi kita.

Pentingnya Kemurnian Ideologi dalam Bangunan Negara

Mahkamah Konstitusi dengan bijak mempertimbangkan bahwa konsep "empat pilar" ini tidak hanya salah secara epistemologis---karena mendistorsi posisi Pancasila---tetapi juga berbahaya dari sudut ontologis dan aksiologis. 

Pancasila tidak dapat disamakan dengan tiang-tiang lainnya, sebab ia bukan hanya salah satu dari sekian unsur, tetapi merupakan dasar yang menjiwai seluruh komponen negara. Dalam setiap bangunan, pondasi memiliki peran yang berbeda dari tiang atau atap. Pondasi menopang segala sesuatu di atasnya, dan jika ia diganggu atau disamakan dengan komponen lain, seluruh struktur bisa runtuh.

Refleksi ini mengingatkan kita pada kisah legendaris Menara Babel dalam kitab Kejadian di Alkitab, di mana manusia dengan sombongnya berusaha membangun menara yang mencapai surga. Namun, pondasi dari menara tersebut adalah kesombongan dan kekacauan, bukan kebenaran dan ketetapan. 

Hasilnya, bahasa mereka terpecah-belah, dan proyek mereka gagal. Ketidakmampuan untuk membedakan mana yang harus menjadi dasar dan mana yang hanya elemen pendukung mengakibatkan kehancuran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline