Lihat ke Halaman Asli

Prahara di Balik Tirai

Diperbarui: 24 September 2024   13:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

freepik via sonora.id

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota Suryapura, suasana malam di ruang tamu dipenuhi oleh tawa ceria dan percakapan hangat. Di tengah-tengah keramaian, Pak Adi, seorang pensiunan guru sastra, duduk santai di kursi goyang sambil menyeruput teh jahe hangat. Ia memandang layar televisi dengan ekspresi yang penuh perhatian, sementara di dapur, Bu Rini, istrinya, sibuk menyiapkan camilan tradisional.

"Ibu, lihat ini," kata Pak Adi, menunjuk layar televisi yang menayangkan debat politik yang tengah memanas. "Sekarang mereka ribut soal nama pasangan calon presiden."

Bu Rini menoleh dari dapur, sambil tersenyum. "Selalu ada yang diributkan menjelang pemilu. Kali ini apa yang mereka permasalahkan?"

"Mereka sedang memperdebatkan akronim pasangan calon presiden: Iqbal-Kristian. Mereka menyebut akronimnya 'IKRIM'. Ada yang merasa nama itu terlalu mendekati kata 'krim', yang dianggap bisa memiliki konotasi negatif," jelas Pak Adi, dengan nada serius namun tetap santai.

Bu Rini tertawa kecil sambil membawa sepiring keripik singkong. "Ah, lucu juga ya. Ternyata nama akronim bisa jadi masalah besar."

Pak Adi mengangguk, matanya tetap fokus pada layar. "Lucu memang, tapi ini juga serius. Terkadang, penggunaan bahasa yang tidak tepat bisa mempengaruhi opini publik secara signifikan."

Tiba-tiba, Pak Adi terdiam sejenak, tampak berpikir mendalam. "Ada yang aneh dengan akronim itu, Bu. Menurut aturan bahasa yang benar, akronim harus mewakili setiap kata dalam nama, tapi IKRIM tidak mencakup nama 'Kristian'. Ini jelas melanggar prinsip dasar penggunaan bahasa."

Bu Rini, yang sudah terbiasa dengan perhatian Pak Adi terhadap detail-detail bahasa, hanya mengangguk setuju. "Tapi, mungkin mereka lebih memikirkan dampak psikologis dari kata tersebut daripada akurasi bahasanya."

"Betul, tapi tetap saja," lanjut Pak Adi. "Penggunaan bahasa yang sembarangan bisa menyebabkan kebingungan dan merusak reputasi. Terlebih lagi, kata 'Krim' itu sendiri bisa menimbulkan konotasi negatif, yang bisa merugikan citra pasangan calon."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline