Lihat ke Halaman Asli

Badai dan Pelangi

Diperbarui: 22 September 2024   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lampung.tribunnews.com


OLEH: Khoeri Abdul Muid

Suara debur ombak terdengar samar-samar dari kejauhan, seolah menenangkan hati yang tengah bergolak. Di tepi pantai itu, Ratri duduk memeluk lututnya, menatap cakrawala yang semakin buram. Dalam hatinya, badai berkecamuk. Seumur hidupnya, ia tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Suaminya, Bayu, yang selama ini dianggapnya sebagai tempat bersandar, tiba-tiba pergi meninggalkannya untuk perempuan lain.

"Kenapa harus aku?" bisiknya pada angin yang berhembus lembut, namun jawabannya hanya keheningan yang menyakitkan.

Hidup Ratri dulu terasa sempurna. Bayu adalah seorang pengusaha sukses, dan mereka hidup dalam kemewahan. Ketika uang mengalir dengan mudah, sahabat dan keluarga selalu berada di sekeliling mereka. Pesta-pesta mewah, liburan ke luar negeri, dan hadiah-hadiah mahal selalu menjadi bagian dari hidup mereka. Namun sekarang, semua itu lenyap. Perusahaan Bayu bangkrut, dan dalam kekacauan itulah ia bertemu dengan perempuan lain yang dianggapnya sebagai pelarian.

Pacobaning urip kuwi darbe wirasa --- setiap cobaan dalam hidup pasti punya makna, pikir Ratri, mengingat nasihat almarhum ibunya. Namun, bagaimana ia bisa menemukan makna di tengah kehancuran ini? Setiap harinya, ia hanya merasa dikhianati, ditinggalkan, dan diabaikan.

Suara dering telepon memecah lamunannya. Ia menatap layar ponselnya; nama sahabatnya, Rina, muncul di sana. Namun Ratri hanya menatap telepon itu, ragu untuk mengangkat. Sebelum badai menghantam, Rina adalah salah satu orang yang selalu ada di sisinya, menikmati kemewahan hidup. Namun kini, ketika keadaan berubah, Rina perlahan menjauh. Mungkin ia tidak tahu bagaimana menghadapi Ratri yang kini terpuruk. Mungkin, seperti banyak teman lainnya, Rina hanya datang saat hidupnya gemerlap.

Ratri mengabaikan panggilan itu. Ia tahu, badai ini bukan hanya tentang kehilangan suaminya, tapi juga tentang kesepian yang perlahan merayap ke dalam hidupnya. Teman-teman yang dulu selalu ada, kini satu per satu menghilang. Mungkin benar, kita harus selalu eling lan waspada (ingat dan waspada) dalam segala kondisi --- saat sedang di puncak, banyak orang yang akan mendekat, tapi saat jatuh, kita baru tahu siapa yang setia.

Malam itu, di rumah yang kini terasa kosong, Ratri merenung. Di masa jayanya, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan hidup tanpa menyadari banyak hal berharga yang ia lewatkan. Waktu bersama keluarganya, waktu untuk introspeksi, bahkan waktu untuk sekadar menghargai orang-orang yang tulus di sekitarnya. Semua terasa sia-sia sekarang.

Tuhan memang tidak pernah menjanjikan bahwa langit selalu biru, pikirnya. Namun, bukankah setiap badai pasti membawa pelangi? Ratri menggenggam tangan erat, bertekad untuk tidak terus-menerus terperangkap dalam kesedihan. Ia tahu, pelangi tidak akan muncul jika ia terus menutup hatinya.

Keesokan harinya, Ratri memutuskan untuk menemui Rina. Mereka duduk di sebuah kafe kecil yang jauh dari kesan mewah, jauh dari tempat-tempat yang dulu sering mereka kunjungi. Rina tampak canggung, mungkin merasa bersalah karena lama tidak menghubungi.

"Maaf, Rat," kata Rina akhirnya. "Aku... aku nggak tahu bagaimana harus bersikap setelah semua yang terjadi."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline