OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa kecil di Jawa, tradisi Cangkriman masih hidup dan berkembang, menjadi salah satu hiburan bagi masyarakatnya. Setiap sore, sekelompok warga berkumpul di warung kopi milik Bu Rini. Mereka bercengkerama, tertawa, dan berbagi Cangkriman yang penuh warna.
Suatu hari, Andi, seorang pemuda yang baru saja pulang dari kota besar, merasa penasaran dengan kebiasaan ini. Dia mendekati kerumunan dan bertanya, "Cangkriman itu apa sih? Sepertinya seru!"
Pak Slamet, yang dikenal sebagai raja Cangkriman di desa, tersenyum lebar. "Ah, Cangkriman itu permainan kata-kata, Nak! Coba tebak, aku punya satu untukmu."
Dia mengatur ekspresi serius dan mulai berbicara:
"Pitik walik nguntal watu, wis gaya molak-malik kok ora metu-metu..."
Semua orang menunggu dengan penuh harap. Andi mengernyit, berusaha mencerna. "Hmm... Ayam berbulu balik menelan batu? Sudah dibolak-balik nggak keluar keluar? Apa itu? Orang mau mengeluarkan uang koin dari celengan!"
"Benar! Itu artinya mencungkil uang dari celengan!" jawab Pak Slamet sambil tertawa.
Andi tersenyum, tetapi sedikit bingung. "Kenapa harus pakai kata-kata aneh gitu? Kan bisa langsung bilang saja!"
Bu Rini, sambil menuangkan kopi, ikut menimpali. "Nah, itu dia. Cangkriman mengajak kita berfikir dan berimajinasi. Lagipula, tak ada yang lebih menyenangkan daripada mengundang senyuman."