Lihat ke Halaman Asli

Kyai Janur Kuning (03)

Diperbarui: 6 Desember 2016   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Di pendapa atau balai penghadapan kraton Pendhawan, Prabu Mengkuwaseso duduk gagah di singgasana, didampingi Permaisuri Ajengastuti. Telah pula menghadap Patih Wiro, Waskito, Pangeran Sancoyo dan lain-lainnya.

Dengan wibawa, Prabu Mengkuwaseso  membuka penghadapan itu.

“Rekyana Patih Wiro… Saya minta unjuk pelaporan, bagaimana kabar keadaan penghadapan ini?”.

“Mohon ijin lapor, Tuan Prabu Mengkuwaseso… Bila salah mohon maaf, Tuan Prabu… Seluruh saudara istana, para pegawai pamong praja, termasuk para bupati bawahan, serta segenap komandan prajurit dalam segala tataran…, sudah hadir menghadap, siap menerima perintah Tuan Prabu… Tetapi, mohon maaf, Tuan Prabu. Kanjeng Pangeran Basoko tampaknya, belum kelihatan hadir, Tuan Prabu…”.

Prabu Mengkuwaseso berdeham, lalu menengok ke arah Permaisuri Ajengasututi, “Kanjeng Permaisuri Ajengastuti… Bagaimana koq putramu, Basoko menyepelekan undangan saya?!?.

Permaisuri Ajengastuti menjawab dengan ekspresi khawatir, “Mohon maaf beribu maaf, Tuan Prabu… Mungkin saja Nak Mas Pangeran Basoko agak telat datang, Tuan Prabu…”.

“Ya, tidak apa-apa…. Kepada semua saja yang hadir. Di acara penghadapan ini, saya berniat membahas bab estafet pemegang kendali kekuasaan kerajaan Pendhawan… Saya sudah berumur. Ibarat matahari, maka matahari yang dekat dengan arah terbenamnya, sudah terlalu jauh berjarak dari terbitnya. Saya merasa sudah pikun, yang bisa menjadikan saya dalam menjalankan roda kekuasaaan menjadi serba-serbi tumpang tindih… Maka demi kebaikan kerajaan Pandhawan, saya berkehendak turun keprabon, berhenti berkuasa. Sementara yang saya pandang dan saya pilih melanjutkan kedudukan saya yaitu anak saya Pangeran Waskito”.

Mendengar dirinya ditunjuk menggantikan Ayahanda Prabu segera saja Waskito yang putra nomor dua ini mohon ijin menyampaikan permintaannya.

“Mohon maaf, Ayahanda Prabu… Bukannya nanda berani melawan perintah Ayahanda Prabu… Tapi Ayah Prabu sendiri mengetahui bahwa selama ini nanda sudah menerima panggilan jiwa, menjadi guru di padhepokan Watugung… Maka dari itu nanda ingin lepas dari belenggu dunia yang sungguh bikin sengsara Ayahanda Prabu… Tekad nanda cukup mencerdaskan kehidupan bangsa Ayahanda Prabu… Jadi, mohon maaf beribu maaf, nanda terpaksa tidak bisa menjalankan perintah Ayahanda Prabu…”.

“Waskito… jikalau kamu memang keberatan untuk melepas tugas keguruanmu, tidak masalah, bisa saya terima… Tapi sewaktu-waktu kamu tidak boleh ganggu gugat kepada siapapun yang aku pilih menjadi pengganti kedudukanku, Waskito…”.

“Ya, Ayahanda Prabu… Bahkan nanda berjanji bahwa nanda akan setia membela tanah tumpah darah dan juga raja Pandhawan ini demi tata tenteram dan kesejahteraan Negara,Ayahanda Prabu…”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline