Lihat ke Halaman Asli

Asyiknya Belajar Sejarah dengan Modelling the Way

Diperbarui: 6 Oktober 2016   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: sekolahkuunik.blogspot.com

Materi pelajaran sejarah sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) memiliki tingkat kerelatifan yang lebih besar dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran pada rumpun Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Oleh karena itu ada benarnya bila IPA selama ini dikenal sebagai ilmu pasti, sementara IPS, bukan ilmu pasti.

Mengapa demikian?

Ialah tak lepas dari obyek kajian IPS, yang berupa manusia, baik dalam konteks lingkungan fisik maupun sosialnya (Nasution (1975) dalam Astuti dkk. (2009: 2). Yang notabene makhluk rumit dan multi dimensi.

Dan, sejarah, sebagaimana disebut dalam al-Muqoddimah Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam Syafi’i Maarif (1997: 2) memiliki dua sisi, yakni sisi luar dan sisi dalam.

Sisi luar, sejarah itu tidak lebih daripada perputaran kekuasaan yang silih berganti pada masa lampau. Namun pada sisi dalamnya, sejarah adalah suatu penalaran kritis (nazar) dan kerja yang cermat untuk mencari kebenaran. Suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu. Suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi.

Dampak dari karakteristik tersebut antara lain menjadikan pelajaran sejarah, pada satu sisi, sebagai pelajaran yang banyak berdimensi ingatan (hafalan) yang begitu luas. Dan, pada sisi lain, merupakan pelajaran yang berkajian sangat mendalam.

Sehingga penggunaan metode ceramah pada pembelajaran sejarah ---terlepas dari justifikasi banyak pihak sebagai metode konvensional atau kuno, tetapi masih saja merupakan pilihan yang relative rasional.

Namun demikian penerapan metode ceramah unsich tentu bukan merupakan pilihan bijak. Karena ia pada umumnya ternyata menjadikan aktivitas dan hasil belajar yang relative rendah.

Di lapangan (di kelas penulis, Kelas 5 SDN Kuryokalangan 01 Gabus Pati Jateng TA 2015/2016) diketemukan bahwa tingkat ketuntasa klasikal pembelajaran sejarah pada KD-KD awal menunjukkan grafik yang juga rendah, yakni tidak lebih dari 55%.

Dan, setelah diadakan studi awal ternyata bahwa pembelajaran sejarah yang bermenu-saji materi yang mayoritas bersifat kronikal (hafalan “hal-hal kadaluwarsa”. Berupa fakta-fakta dan tahun-tahun sejarah tersebut) dengan metode ceramah saja. Pada umumnya menjadikan siswa borring dan pembelajaran sejarah jauh dari criteria bermakna.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline