Lihat ke Halaman Asli

Sistem Administrasi Pemilu Tidak Manusiawi

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Dibalik keberhasilan, kekondusifan dan segala ungkapan tanda kesuksesan Pileg 9 April 2014 ini, sungguh menyimpan PR yang mahapenting, yakni sistem pengadministrasiannya yang menurut saya sangat tidak manusiawi. Berlapis-lapis, nggedabyah (tidak efisien) dan un-prediktible karena berbanding balik dengan jumlah tenaga dan waktu serta ambang batas serta kemampuan kemanusiaan manusia.

Kritik saya ini bukannya tanpa dasar. Buktinya, start kegiatan petugas KPPS di TPS-TPS yang saya pantau mulai bergerak pada pukul 06.00 WIB. Dengan, tanpa isoma (istirahat sholat/ibadah dan makan) yang memadai karena harus saling aplusan dan serba tergesa-gesa saja, pukul 22.05 WIB ini para petugas KPPS itu praktis baru bisa makan malam dan pulang. (Di TPS-TPS lain mungkin ada yang lebih malam lagi).

Bayangkan, tanpa asupan yang memadai dan fisik yang tidak terlatih sebelumnya karena hampir semuanya adalah tenaga dadakan (spontan) maka fisik siapa, pinggang siapa, tulang punggung siapa, mata siapa yang mampu menyelesaikan tahapan pekerjaan terutama penghitungan dan pendataan atau rekapitulasi administrasi Pileg yang sebagaimana saya sebut tadi: nggedabyah dan un-prediktibelsebagai pekerjaan yang manusiawi.

Kalaupun dibenarkan dari sudut pengorbanan atau apalah atau bahkan nasionalisme, misalnya. Pertanyaannya adalah itu benarkah nasionalisme yang benar-benar nasionalisme atau malah hanya retorika belaka? Sudahlah, apapun itu pembenarannya, mustinya dalam alam sistem yang sebenarnya dalam keadaan normal-normal saja, bukan darurat ini, segala sesuatunya harusnya diprediksi, dikira-kira, diteliti. Apalagi bidang pekerjaan itu ada ilmunya, ada risertnya.

Sahdan. Di salah satu TPS yang saya pantau terlihat bahwa fisik para anggota KPPS, semuanya bahkan termasuk anggota Linmas dan para saksi, bermata berkaca-kaca, loyo, nanar dsb bahkan ada salah satu anggota yang belakangan saya ketahui sedang hamil muda. Bagaimana misalnya jika terjadi suatu resiko yang tidak baik (untuk tidak mengatakan terburuk) ? siapa yang bertanggungjawab? KPU? DPR? Atau siapa? Apakah anda akan jawab , ya suaminya? Lalu, apakah anda bisa berkata dan menyudutkan, salahnya mau... Apakah begitu sopan-santun yang hendak diperjuangkan melalui pesta demokrasi ini? Sementara mereka yang secara langsung diuntungkan cuma goyang-goyang kaki di rumah?

Yap. Juga bukan masalah besaran honornya yang sejatinya jauh dari kewajaran upah pekerjaan super lembur itu. Tapi sekali lagi, yang terpenting untuk kebaikan dimasa yang akan datang, kiranya perlu dirancang kembali pekerjaan PEMILU itu sebagai pekerjaan yang dapat dikerjakan secara manusiawi. Sebab, asas demokrasi pada hakikatnya hendak memanusiakan manusia. Bagaimana?***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline