Lihat ke Halaman Asli

Hamil Ikut UN, Boleh?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Siswa mengikuti ujian nasional SMA/SMK sederajat. (KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi. Siswa mengikuti ujian nasional SMA/SMK sederajat. (KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP)"][/caption]

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Sebagaimana dilansir Jawa Pos (15/4) di Mojokerto Jawa Timur Ujian Nasioanal (UN) 2014 jenjang SLTA diikuti oleh 6 siswi hamil. Dinas Pendidikan (Dispendik) setempat tidak melarang mereka menjadi peserta UN. Namun, selama mengikuti ujian, mereka mendapat pendampingan dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB).

Diberitakan lebih lanjut Dipendik Kabupaten Mojokerto melalui Kepala Bidang Pendidikan Menengah (Kabiddikmen) Sumarsono mengatakan bahwa keenam siswi hamil tersebut diikutkan UN karena pertama, pertimbangan kemanusiaan; kedua, hak normatif siswi. Di samping itu juga ketiga, karena mereka telah terdaftar dalam Daftar Nominasi Tetap (DNT) peserta UN di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.

Alasan kemanusiaan dalam kasus ini barangkali dapat dimaklumi, karena sebagaimana dikatakan oleh Kepala BPPKB Kabupaten Mojokerto Yudha Hadi bahwa keenam siswi hamil tersebut rata-rata merupakan korban rayuan janji palsu bahwa jika hamil akan dinikahi.

Kendala Hukum

Pada sisi lain, alasan hak normatif (hukum) siswi dan kenyataan bahwa secara formal mereka telah terdaftar dalam DNT yang notabene secara awam diasumsikan telah memenuhi persyaratan sebagai peserta resmi UN, merupakan argumen yang menarik untuk dicermati lebih lanjut. Mengingat, dalam Tata Tertib Sekolah pada umumnya diatur tentang sanksi pengembalian siswi hamil kepada orang tua yang artinya semenjak diketahui (ketahuan) hamil dan kemudian diadakan tindakan dikembalikan kepada orang tua maka semenjak itu pula status siswinya otomatis gugur demi hukum (bukan lagi berstatus sebagai peserta didik).

Sementara itu berdasar POS UN 2014 yang diatur oleh Peraturan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Nomor: 0022/P/Bsnp/Xi/2013 yang diteken oleh Ketuanya Prof. DR. H. Edy Tri Baskoro pada 30 November 2013 tersebut yang mempertimbangkan pada 8 dasar hukum yang antara lain UURI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini ---mengatur persyaratan peserta UN sebagai berikut:

a. Peserta didik yang belajar pada tahun terakhir pada sistem paket atau SKS di satuan pendidikan berhak mengikuti Ujian Nasional (UN);

b. Peserta didik yang memiliki rapor lengkap penilaian hasil belajar pada satuan pendidikan sampai dengan semester I tahun terakhir;

Ya. Sekali lagi, aksentuasinya adalah bahwa peserta UN wajib berstatus sebagai peserta didik. Sehingga dengan demikian, secara hukum, pembolehan keenam siswi tersebut mengikuti UN sebenarnya tidak sah. Karena sebagaimana dijelaskan di atas, mereka terkendala oleh statusnya yang tidak lagi sebagai peserta didik.

Pertanyaannya adalah adakah upaya hukum untuk “penyelamatan” mereka yang konon merupakan para korban rayuan (lelaki hidung belang) tersebut?

Executive atau Judicial Review

Tata Tertib Sekolah merupakan produk Peraturan Sekolah. Bahwa dasar/sumber dan sifat wewenang pembuatan tata tertib sekolah tentang sanksi pengembalian siswi hamil kepada orang tua tersebut adalah berupa atribusi yang berasal dari delegated legislator yang merupakan wewenang pemerintahan yang bersifat bebas.

Tata Tertib Sekolah juga merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang tidak termasuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tetapi tetap memiliki kekuatan mengikat.

Oleh karenanya kemudian upaya atau celah hukum apa yang kiranya dapat dilakukan untuk membatalkan tata tertib sekolah tentang sanksi pengembalian siswi hamil kepada orang tua tersebut adalah dengan jalan mengajukan executive review kepada Kepala Sekolah atau mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.

Executive review adalah segala bentuk produk hukum pihak executive diuji oleh baik kelembagaan dan kewenangan yang bersifat hierarkis. Dalam konteks ini yang berjalan ialah“control internal” yang dilakukan oleh pihak itu sendiri terhadap produk hukum yang dikeluarkan.

Sementara itu Judicial review (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku.

Dan, dalam kasus siswi hamil peserta UN di Mojokerto ini semestinya Dispendik melakukan langkah penyelamatan terlebih dahulu dengan cara melakukan executive review terhadap Tata Tertib Sekolah masing-masing siswa dengan membatalkan aturan sangsi pengembalian kepada orang tua bagi siswi yang hamil, ---jika memang sekolah yang bersangkutan telah mengaturnya. Setelah itu, baru kemudian Dinas membolehkan mereka mengikuti UN agar kelak kemudian hari tidak tersandung kendala hukum. Kalaupun ternyata aturan sangsi itu tidak ada? Ya otomatis mereka bebas dari kendala/ancaman hukum tersebut, gitu loh.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline