Lihat ke Halaman Asli

NU di Tengah 2 Syahwat Koalisi

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Kesan yang saya tangkap dari dampak terbelahnya sikap Kyai NU dalam pilpres 2014 ini, khususnya bagi warga NU di akar rumput yang bertradisi sami'na waatha'na (saya dengar dan saya patuh) ini, ialah makin membuatnya DILEMATIS saja.

Bahkan, tanpa belahan sikap kelompok kyai tersebutpun sebenarnya konfigurasi koalisi yang ada, bagi warga NU yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia ini juga bagai berada di antara dua syahwat koalisi. Ini menarik tapi ..? Kemudian, yang itu tidak begitu menarik, tapi...?

Yup!

Mengapa?

Kubu Prabowo meskipun kini mantap disokong oleh 4 partai Islam tapi dapat dikatakan punya problem krusial, yakni minus FIGUR NU.

P3 meski mendiklirkan diri sebagai rumah besar bagi umat Islam yang demikian berarti welcome juga buat NU tapi P3 kini tidak lagi khas NU.

Sementara PAN yang berhasil menempatkan figur utamanya, Hatta Rajasa sebagai capres, jelas-jelas merupakan partai kulturalnya Muhammadiyah ---suatu ormas Islam rival tradisional NU.

Dan, PKS yang dalam praktik sering berebut massa dengan PAN sebagian besar konstituentnya juga berbasis massa Muhammadiyah.

Kemudian, PBB merupakan kelanjutan dari Masyumi yang dalam sejarah merupakan rival NU juga.

Tak dipungkiri bahwa pernyataan dukungan Ketu PBNU KH. Said Agil Siradj meski secara pribadi, yang kemudian disusul dengan bergabungnya Rhoma Irama bahkan Ahmad Dhani sebagai pendukung pasangan Prabowo-Hatta, mungkin saja benar menjadi magnet tersendiri bagi warga NU, tetapi tetap saja tidak belum maksimal.

Oleh karena itu saya berfikir, untuk merebut simpati warga NU, satu-satunya jalan terhormat yang bisa ditempuh oleh kubu ini pertama, menjunjung marwah warga NU setinggi-tingginya. Sehingga, yang kedua, koalisi ini bisa meminimalisir kesan sebagai kubunya Muhammadiyah yang dengan demikian tidak terlalu harus di-head to head-kan dengan NU.

Pertanyaannya ialah, bagaimana dengan FENOMENA MAHFUD MD dalam konstelasi itu?

Terlepas apa yang terjadi di balik deal antara Mahfud MD dan kubu Prabowo, bahwa penarikan Mahfud MD sebagai Ketua Timses Prabowo-Hatta, belumlah memberi pesan yang terlalu jelas bagi warga NU.

Sebab, di samping sempat ada yang berdiskursus (mungkin terutama fihak yang berseberangan dengan Mahfud MD) soal benar-tidaknya atau layak tidaknya Mahfud MD sebagai representasi warga NU, juga bisa-bisa saja pengalaman Rhoma Irama dengan PKB pada pileg yang lalu akan berulang menimpa Mahfud MD pada pilpres ini, yakni dinafikkan.

Yang jelas, ketidak jelasan penghargaan marwah atau simbol kehormatan NU dengan tanpa memastikan siapa dan bakal jadi apa salah satu tokoh panutannya dalam koalisi ini, menjadi pertimbangan tersendiri bagi sikap warga NU.

Sehingga dalam kerangka tersebut, salah satu langkah praktis realistis yang dapat dilakukan oleh kubu Prabowo mestinya ialah memastikan FIGUR NU masuk dalam koalisi ini, misalnya memastikan "jatah" kursi Menteri Agamanya diisi dari NU.

Mengapa kepastian figur NU dalam rencana pemerintahanPrabowo-Hatta ini penting?

Sebab, di kubu Jokowi jelas ada JK yang warga NU dan PKB yang secara kultural ialah partainya NU.

Namun demikian, problem dilema bagi warga NU pada kubu ini juga tidak seratus persen bersih. Sebab, pada kubu Jokowi ini potensial punya kecenderungan adanya hegomoni partai nasionalis PDIP-Nasdem-Hanura-PKPI atas satu-satunya partai Islam (PKB) sehingga koalisi ini juga cukup meragukan bagi kalangan Islam.

Kalau kubu Jokowi telah dapat memastikan bahwa wakilnya ialah orang NU, dan karena tidak adanya saingan dalam koalisi yang “ahli” (partai) agama maka mudah diprediksi calon menteri agamanya pastinya juga dari PKB (NU) maka pada giliran berikutnya rekomendasi saya ialah bahwa Jokowi harus memastikan program-programnya juga mesti pro-Islam (atau setidaknya tidak mengabaikan kepentingan Islam (NU)).

Demikian.

Salam.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline