Lihat ke Halaman Asli

KPU Minta Fatwa MK Soal Pilpres?

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

KPU sudah mulai bingung soal kemungkinan Pilpres 2014 yang notabene diikuti hanya dua pasangan yang relatif berkekuatan seimbang akan berlangsung lebih dari satu putaran.

Mengapa?

Karena terkait dengan aturan bahwa dinobatkan sebagai pemenang Pilpres dan karenanya berhak ditetapkan serta dilantik sebagai Presiden dan Wapres apabila pasangan capres-cawapres mampu meraih suara lebih dari 50% dengan minimal suara 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

(Jumlah provinsi di Indonesia pada tahun 2014 ini mencapai 34 buah, sehingga perolehan minimal suara 20% tersebut paling sedikit harus dicapai pada 18 provinsi ).

Dasar hukum ketentuan itu tidaklah main-main, yakni UUD 1945 Pasal 6A ayat 3 dan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden termasuk pasal 159 di dalamnya.

Terkait dengan hal itu, KPU berencana meminta fatwa tafsir kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun langkah tafsirisasi aturan yang maknanya sudah sangat jelas tersebut (karena UUD dan UU –nya telah saling menguatkan) meski melalui Fatwa MK sekalipun jika tafsirnya justru kontradiktif dengan makna yang sesunggguhnya, apalagi kalau jelas-jelas dengan mencari-cari pembenarnya, maka sama halnya dengan mereka-rekayasa makna hukum yang notabene tidak menjamin kepastian dan keadilan hukum.

Dan, hal demikian berpotensi debatebel dan karenanya pula berpotensi menimbulkan konflik atau setidaknya akan menuai protes terutama dari pihak yang dirugikan atau pihak yang kalah.

Oleh karenanya, jalan yang paling elegan ialah MPR segera saja mengamandemen UUD 1945 Pasal 6A ayat 3 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden tersebut sebelum Pilpres 9 Juli 2014 berlangsung, yang kemudian diikuti oleh perubahan pada UU dan peraturan pelaksana lainnya, termasuk peraturan-peraturan KPU.

Adapun pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini ialah:

Pertama, jangan mudah-mudah merubah ketentuan yang ada, apalagi karena euforia (termasuk di dalamnya: UUD 1945 yang asli tersebut) sebelum betul-betul masak-masak memikirkan segala akibatnya. Karena toh aturan-aturan yang ada (meskipun sudah lama sekalipun) pastinya telah melalui pertimbangan-pertimbangan dan pemikiran-pemikiran yang cermat dan dalam juga.

Kedua, jangan mengatur hal-hal yang terlalu khusus atau teknis pada pasal-pasal UUD, melainkan cukup mengaturnya pada tingkatan perundangan di bawahnya saja. Sehingga jika diperlukan perubahan, prosedurnya tidak terlalu ketat dan juga hal demikian sesungguhnya menjaga kewibawaan UUD itu sendiri.

Yang jelas, MK ialah singgasana hakim-hakim bijak karena ia-lah satu-satunya lembaga yudikatif yang diberi hak memutus perkara pertama sekaligus terakhir (final) sehingga mestinya akan bersikap bijak pula ketika KPU nanti benar-benar minta fatwa tafsir atas aturan soal pilpres tersebut.

Salam.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline