Lihat ke Halaman Asli

Pandangan Sempit

Diperbarui: 9 September 2023   06:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Umumnya orang terikat hanya dengan pemahaman pribadinya, sebagaimana pemikirannya tentang kebahagiaan yang merupakan tujuan dalam hidup juga tentang pandangannya soal hidup yang baginya merupakan pilihannya.

Tentu saja hal ini merupakan awal penderitaan. Kehidupan yang bagi kebanyakan untuk bahagia, saat bahagia tidak didapat dan tidak diraihnya, tentu menjadikan seseorang bermasalah atau bahkan bisa saja membawanya pada keputusasaan yang nyata. Karena harapan itu berbeda dengan kenyataannya. 

Pada saat hal itu tidak disadari, membuat seseorang tidak bisa berdamai dengan keadaan dan kondisinya sendiri. Pandangan yang benar soal bahagia adalah hanya dengan menerima keselarasan. Keselarasan dapat dirasakan dengan menerima sebuah pergantian keadaan. Boleh jadi seseorang memang bahagia, tetapi mustahil akan terhindar dari kesulitan dan masalah. 

Hal ini tidak bisa dihindari. Seseorang merasakan hidupnya menderita, tetapi percayalah hal itu akan beralih pada bahagia, jika memang sudah waktunya. Ini pakem yang tak bisa dielak. Menyadari hal ini, sama saja dengan kita mengetahui soal pergantian waktu malam dan siang, musim hujan dan musim panas, selalu seperti itu. Jadi, hidup adalah sebatas menjalani setiap pergantiannya. 

Inilah makna bahagia yang sebenarnya. Mustahil seseorang akan bahagia, saat pilihannya yang enak-enak sesuai maunya saja. Inilah pandangan sempit yang penulis maksud. Cara mengubah agar pandangan yang sempit menjadi lebar dan dapat mencapai cakupan wawasan adalah menjalani apa pun yang saat ini sedang dirasai dan menyerta. 

Tentu saja ini dapat mengantar pada kebahagiaan sebenarnya yang dilihat bukan sebatas dari materi. Pergantian musim datangnya bukan dari kita, sekalipun ada peranan kita. Jadi, untuk menjadi bahagia bukan saja merasakan yang enak dan nyaman semata. 

Penderitaan dan kesulitan merupakan hal bahagia juga jika manusia mau menyadarinya.
Namun, kenyataan yang terjadi sangat memprihatinkan. 

Krisis moral, nilai adab sudah hilang, satu sama lain saling mengganggu, merampas, pencabulan, pemerkosaan, konten-konten yang tidak mendidik, demi viral, akal pikiran tidak digunakan sebagaimana mestinya. 

Kasus-kasus yang ada menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan sudah sulit ditemui saat ini. Kebenaran yang jelas dan nyata menjadi abu-abu, hingga sulit dikenali. Adil, adab, kesatuan, dan persatuan telah terkikis oleh kepentingan pribadi. Terlebih lagi soal kebijaksanaan, semua ada hanya di lisan, dalam pelaksanaannya sudah sangat ngeri.

Saat ini yang ada bersekutu hanya bagi yang bermateri, soal hujat seolah-olah berlaku meski yang berujar tak layak digugu. Untuk yang lemah keadaaan, membuatnya semakin tak berdaya. Hal ini terbukti tidak sedikit orang tua kehilangan wibawa, anak yang terlahir di bumi bestari dalam naungan cinta kasih, setelah dewasa kemampuannya melawan orang tua sendiri. Kesucian ajaran ternodai. Boro-boro cinta negeri dan sesama makhluk di bumi, satu sama lain kecewa dan saling membenci. 

Itulah yang terjadi saat ini, tanpa harus ditutup-tutupi. Pendidikan, selain didapat dari keluarga, merupakan tugas bersama kita. Jika tidak, lupakan soal perubahan dan pembaharuan, yang terjadi munculah berbagai macam permasalahan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline