Lihat ke Halaman Asli

Hasbi Ade

Jurnalis/pimred/sukses/mimbartimur

Pemimpin Dalam Demokrasi Indonesia: Menjunjung Tinggi Kesetaraan dan Toleransi

Diperbarui: 6 Desember 2024   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasbi Ade : Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan IAIN TERNATE

Oleh: Hasbi Ade

Di tengah dinamika yang ada di Indonesia, sebuah pertanyaan sering kali muncul mengenai tentang seorang perempuan, atau bahkan seseorang dengan latar belakang agama, suku, dan ras tertentu, yang dibatasi dalam perannya sebagai pemimpin. Dalam konteks demokrasi Indonesia, yang berlandaskan pada prinsip kesetaraan hak, tidak ada alasan yang sah untuk melarang seorang perempuan atau individu dari latar belakang tertentu untuk memimpin.

Negara Indonesia sebagai negara demokratis dan berlandaskan Pancasila secara tegas bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, tanpa adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, suku, ras, agama, atau status sosial.

Demokrasi Indonesia, sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, mengedepankan prinsip kesetaraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketika kita berbicara tentang siapa yang berhak menjadi pemimpin, demokrasi tidak mengharuskan pemimpin tersebut berasal dari kelompok tertentu atau memiliki identitas tertentu. Demokrasi menekankan bahwa pemimpin harus dipilih berdasarkan kualitas kepemimpinan, bukan identitas primordial semacam agama, ras, atau jenis kelamin.

Seiring berjalannya waktu, kita sering mendengar tentang argumen yang menekankan bahwa pemimpin harusnya didasarkan pada agama atau latar belakang tertentu. Tetapi pertanyaan yang mendasar adalah apakah negara kita, yang memiliki banyaknya keberagaman mengapa harus dibatasi dengan klaim-klaim sempit tentang siapa yang boleh menjadi pemimpin?.

Mengapa negara ini, yang telah lama mengajarkan kita tentang toleransi, kerukunan, dan penghargaan terhadap perbedaan, harus kembali pada pemahaman yang sempit mengenai siapa yang layak memimpin berdasarkan agama atau identitas kelompok tertentu?

Dalam ajaran Islam, misalnya, Al-Qur'an Surah Al-Baqarah (2:30) menyebutkan bahwa manusia diangkat menjadi "khalifah" di muka bumi. Hal ini dapat diartikan sebagai pemimpin yang memiliki tanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan kebaikan bagi umat manusia, tanpa memandang jenis kelamin, suku, atau ras. Ini penting di garis bawahi, bahwa prinsip kepemimpinan adalah soal kapasitas dan akhlak, bukan soal atribut fisik atau identitas primordial seseorang.

Penting untuk dicatat, demokrasi bukan hanya sekedar alat untuk memilih pemimpin, tetapi juga sistem yang menghargai hak asasi manusia, termasuk hak setiap individu untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan kehidupan publik.

Ketika berbicara tentang pemimpin, kita harus menilai sejauh mana seseorang mampu membawa perubahan yang positif bagi negara yang bukan berdasarkan pada label agama atau kelompok etnis tertentu. Jika kita terus membatasi hak untuk memimpin hanya pada satu kelompok tertentu, kita akan mengabaikan potensi besar yang ada di dalam masyarakat Indonesia yang begitu beragam ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline