Filsafat modern sendiri merupakan salah satu cabang pemikiran dalam filsafat yang muncul pada abad ke-19 yang kemudian masih berlanjut hingga masa kini. Para filsuf modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Iqbal mengusung gerakan reformasi mengembangkan filsafat islam modern. Ia berpendapat bahwa ulama harus berperan aktif dalam memimpi masyarakat untuk menuju kemajuan dan pembaruan dengan mengadopsi ilmu pengetahuan modern untuk mengatasi ketertinggalan umat islam.
Muhammad Abduh sendiri lebih fokus pada reformasi agama untuk memperbaiki pemahaman umum tentang islam melalui gagasannya tentang reformasi pendidikan, pembukaan Kembali pintu ijtihad dan moderasi dalam beragama, Muhammad Abduh telah menginspirasi berbagai gerakan pembaruan umat islam untuk menghadapi tantangan zaman dengan pemikiran yang progresif, rasional, dan terbuka terhadap perubahan tanpa meninggalkan spiritualitas Islam itu sendiri. Kemudian Muhammad Iqbal juga menekankan pentingnya rasionalitas dan ilmiah dalam reformasi agama. Ia ingin melepaskan umat islam dari dogma tradisional dan membawa umat islam menuju era yang lebih maju dan rasional.
Seperti yang kita ketahui modernisme islam sangat menekankan pentingnya rasionalitas dalam memahami ajarannya yang sering dikaitkan dengan upaya intelektual untuk mendamaikan antara ajaran agama dan akal manusia. Rasionalisme islam modern berakar pada keyakinan bahwa akal bukan hanya alat untuk memahami wahyu tetapi juga instrument untuk memperbarui ajaran agama agar sesuai dengan tantangan dunia kontemporer. Modernisme juga menekankan nilai-nilai pluralisme, keadilan sosial, dan hak asasi manusia. Hal ini berbanding terbalik dengan tradisionalisme dalam islam yang mempertahankan ajaran praktik yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Mereka meyakini bahwa pemahaman autentik harus bersumber pada teks-teks suci seperti Al-Qur'an dan hadits, serta warisan intelektual ulama klasik. Mereka cenderung memandang perubahan sosial dan politik modern dengan skeptis terutama jika perubahan tersebut bertentangan dengan ajaran yang mereka anggap murni atau asli dalam tradisi islam. Dengan demikian, tradisionalisme sering dianggap tidak responsive terhadap perubahan zaman dan ini dianggap kaku dan sering kali diidentifikasikan sebagai taqliq buta yang menghambat inovasi dan kemajuan yang mengakibatkan umat islam kehilangan relevansi di dunia modern. Kaum modernis juga menganggap bahwa kaum tradisisonalis terlalu dogmatis, tidak fleksibel dan enggan untuk melakukan ijtihad. Dengan mengandalkan pemahaman lama tanpa melakukan ijtihad, tradisionalisme dapat menyebabkan stagnasi intelektual yang berpotensi membuat umat islam tidak dapat menjawab tantangan baru yang muncul dalam konteks globalisasi dan modernisasi.
Dengan demikian, karena tradisionalisme yang cenderung menolak pluralisasi dan keberagaman pendapat yang mereka anggap bertentangan dengan ajaran islam, dan sebaliknya pemikir modernis yang percaya bahwa keberagaman adalah bagian dari realitas sosial yang harus diterima dan dipahami dengan kerangka islam. Maka pemikir modernisme islam berusaha untuk menjembatani antara agama dengan kebutuhan zaman, dan mendorong umat islam untuk lebih berpikir kritis dan beradaptasi tanpa kehilangan esensi ajaran islam itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H