Keterbukaan masyarakat dalam mengisahkan tindakan yang kurang baik-menurut mereka, ternyata mampu menguak siapa dan apakah yang menjadi penyebab utama, pendukung, serta penjamin perilaku yang merek anggap salah tersebut. Mari kita bahas salah satu faktornya.
Faktor Lingkungan Tidak Terbatas (Infinity Environment Factor)
Layaknya sebuah kejadian bunuh diri, para pemikir mengemukakan bahwa seseorang tidak akan melakukan hal yang bertentangan dengan prinsip hidupnya kecuali adanya dorongan mental yang kuat, baik itu berupa tekanan dari dalam diri sendiri maupun dari orang lain. Hingga saat ini terbukti kematian di Indonesia bertambah pesat. Mulai dari kasus kematian yang disebabkan oleh merokok, bunuh diri maupun dibunuh-ditekankan pada kematian yang disebabkan oleh dorongan psikologis baik secara langsug maupun tidak. Sebgian besar menghubungkan keterlibatan antara korban dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya.
Kondisi psikologis para korban sudah terpola karena sosialisasi di lingkungannya berlangsung baik-artinya baik adalah prosesnya, bukan sifatnya-meskipun sosialisasi tersebut bersifat sempurna ataupun sebaliknya. Sosialisasi tersebut pada akhirnya akan membentuk kepribadian dirinya, yang nantinya harus mampu mempertahankan diri di lingkungan tersebut. Pertahanan ini bersifat abstrak, maksudnya ketika dalam lingkungan yang tidak teratur, perilaku ini muncul dengan sendirinya. Gunanya untuk mempertahankan perannya dimasyarakat-untuk tetap menjadi bagian dalam suatu masyarakat-serta status sosial yang dimilikinya. Baik pertahanan psikologis dari hal yang bermuara pada persaingan antar sesama, konflik yang dihadapi, atau bahkan hal-hal yang positif sekalipun, ia harus mempertahankan kedudukan yang sudah dicapainya dalam kurun waktu tertentu di suatu masyarakat.
Terkadan yang sering muncul dari pertahan ini adalah perasaan tertekan, apa yang ia lakukan biasanya sering menyalahi kehendak nurani dan pemikirannya-pemberontakan batin akibat konflik yang dihadapi. Ia menghindar dari kenyataan yang dihadapi dengan maksud untuk mengurangi ketegangan. Dengan sikap mempertahankan yang timbul karena ketidaksesuaian dan ketidaksepakatan pemikiran tentang suatu norma dan nilai, maka akan timbul kepribadian yang seringkali tidak diharapkan atau lebih tepatnya bertentangan dengan kondisi semula. Akibat dari ketidakpaduan anggota masyarakat atas aturan dalam berperilaku yang mengikat, maka akan banyak pula hal yang akan dijadikan sebagai tempat pelarian. Salah satunya alasannya adalah mereka mencari bahan pelarian untuk melampiaskan perubahan kondii dirinya yang tidak menentu atau mencari sisi nyaman yang cocok untuk melampiaskan perasaan dan perilaku yang terbentuk oleh kepribadian baru mereka. Ketika mereka telah menentukan dimana zona nyaman mereka, maka terbentuklah kebiasaan yang terpola. Dengan demikian mereka akan dengan cepat mengubah persepsi dan pemikiran mereka, bahwa pelampiasan melanggar norma dan nilai dalam masyarakat yang semula dianggap tidak etis dan melanggar etika serta aturan dalam masyarakat, lama kelamaan akan menjadi hal yang biasa, bahkan mereka akan menganggap bahwa perilaku tersebut sudah sangat biasa dilakukan setiap hari-meskipun kebiasaan mereka bertentangan dengan norma norma budaya yang dominan diterapkan dalam masyarakat-dan inilah yang disebut dengan sosialisasi sub kebudayaan menyimpang.
Keadaan ini akan terus berlangsung hingga masyarakat yang lainnya melakukan kontrol sosial terhadap masyarakat disekitarnya tersebut, yakni membenahi struktur sosial yang telah terbentuk. Namun pengontrolan ini tidak bergema dalam singkat waktu saja, diperlukan waktu panjang serta memmbutuhkan pihak lain untuk mendukung dan membantu usaha pengontrolan ini, contohnya lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat-pengendali eksternal/sisi luar. Disini yang sangat berpengaruh adalah pengontrol sosial internal. Dimana, penekanan kontrol sosial ini banyak melibatkan estetika dan etika aturan main, kasih sayang yang dalam, tanggung jawab, partisipasi orang-orang penting dalam kehidupan, maksudnya adalah orang yang mendominasi dan lebih dekat dibandingkan masyarakat. Contohnya adalah keluarga dan kerabat-paling utama-serta adanya kepercayaan antara pengendali dan pelaku penyimpangan, sehingga hal-hal sebelumnya akan mengikat dan menjadi sebuah akatan sosial. Fungsinya banyak, diantaranya mengendalikan perilaku individu kembali pada aturan dan nilai yang dijunjung tinggi di masyarakat, serta mencegah penyimpangan sosial yang disebabkan oleh berubahnya kondidi psikologis karena pengenalan atau proses belajar yang dialami seseorang tersebut untuk memproleh pengetahuan kehidupan tentang aturan hidup dan fungsinya gagal membentuk kepribadian yang diharapkan. Interaksi antar pengendali dengan pelaku penyimpang inilah bagian terpenting dalam proses pengendalian penyimpangan. Sehingga kedekatan antaranya sangat dibutuhkan.
Jika demikian, lalu bagaimana hukumnya dengan sekian banyak perilaku penyimpangan yang disebabkan oleh broken home? Tidakkah perceraian itu menimbulkan dampak psikis yang sangat kuat untuk mengguncang pendirian semula individu penyimpang akibat terpecah belahnya pendirian keluarganya sendiri? Tidak jugakah keluarga dari kedua orang tua mereka saling menentang satu sama lain? Bagaimana caranya individu yang berperan sebagai korban menuntaskan masalahnya dengan pengendalian internal, sedangkan kedua orang tuanya sendiri memakan kedekatan tersebut dan melumatnya mentah-mentah dan sudah pasti tiada kasih sayang yang akan membimbing individu tersebut kepada norma yang ada? Bagaimana bisa dan apa alternatifnya jika lembaga lembaga dalam masyarakat sudah tidak mampu bercampur tngan untuk menanganinya? Padahal kebanyakan dari pelaku penyimpangan berawal dari hancurnya suatu bangunan mental yaitu rumah tangga.
Inilah permasalahan yang dimilki oleh masyarakat kita, tidak mampunya keluarga terjun sebagai pengayom dan pelindung mental utama, keluarga inti (nuclear family) adalah agen sosialisasi terpenting dalam pembentukan kepribadian dan memperkenalkan individu kepada dunia luar. Orang tua berperan sebagai bahan yang dapat di imitasi dalam hal perilaku dan sifat. Intinya, jika agen pembentuknya sudah menyimpang dari aturan, maka individu akan mengimitasi perbuatan penyimpangan yang dilakukan oleh agen sosialisasi tersebut. Sedangkan teknik menghilangkannya butuh jangka waktu yang sangat panjang. Masyarakat Indonesia mengatakan, “Ini kesalahan awal mereka!” dan sebagian menjawab, “Namun mereka tidak menyadari kesalahan awal tersebut!”. Pertentangan tampak mencolok, pertentangan ini juga akan mengusut individu yang masih dalam tahap menirun akan mudah masuk ke dalam lingkup perilaku menyimpang atas dasar penafsiran bahwa agen sosialisasi itu sendiri yang sepatutnya menjadi panutan tidak menunjukkan kesatu paduan dalam usaha mereka membentuk keberhasilan suatu sosialisasi untuk pebentukan kepribadian individu lainnya.
Pemaparan ini tidak sekaligus mewakili permasalahan moral yang menyelimuti pertiwi ini, namun setidaknya dapat menggambarkan apa yang telah terjadi. Kemampuan yang dijanjikan perlu direalisaskan dengan maksud mengatasi penyimpangan sekunder yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H