Lihat ke Halaman Asli

[FAA] Titipan Pak Yusuf

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

439 - Kinanti Khinan

Malam itu usai sholat magrib di Masjid. Anom, Doni, Emus dan Arif menuju Pasar Malam. Empat sekawan itu berangkat menuju pasar malam. Langkah mereka terhenti ketika seseorang berteriak, memanggil.

“Anom!” terdengar teriakan seseorang dari arah belakang. Anom menoleh, mencari siapa gerangan yang memanggilnya. Rupanya seorang bapak tua yang Anom kenal.

“Iya, Pak Yusuf, ada apa?” tanya Anom menghampiri.

“Tolong berikan ini pada ayahmu,” Pak Yusuf memberikan amplop coklat pada Anom. Sekilas Anom bisa menebak isinya.

“Sampaikan saja itu dari saya.” pesan bapak itu lagi. Anom mengangguk mengerti.

Tak berapa lama kemudian. Mereka tiba di Pasar Malam. Lampu terang berderang beraneka warna. Tua, muda, anak-anak maupun dewasa berkumpul disana. Pasar Malam hanya berlangsung satu bulan saja. Ketika rombongan sirkus keliling berhenti di kampung mereka. Karna itulah kedatangannya sangat di tunggu-tunggu.

Mereka mencoba pelbagai permainan, komidi putar, melihat atraksi motor di dalam tong raksasa, hingga bermain lempar gelang berhadiah.

“Hampir saja, tadi kau dapat hadiah kulkas!” seru Emus pada Anom.

Sekejap kemudian Doni berkata “Uangku suda habis!”

“Aku juga!” Sambung Arif.

“Bagaimana kalo kita pulang saja?” usul Doni, “lagi pula kita tidak bisa membeli karcis lagi.”

“Tunggu dulu,” Anom mengeluarkan amplop dari saku bajunya.

Seperti dugaan Anom, Amplop coklat itu berisi uang. Anom mengambil dua lembar sepuluh ribuan dari amplop itu.

“Mau kau apakan uang itu?” tanya Emus pada Anom.

“Ayo, kita beli karcis lagi, aku masih penasaran dengan permainan lempar gelang itu.” Jawabnya.

“Tidak baik seperti itu, teman! Itu kan titipan untuk ayahmu.” Arif menengur Anom

“Tidak apa-apa, ayahku tidak akan tahu. Lagi pula cuma sedikit yang kuambil.” Kilah Anom

“Jangan! Tidak amanah itu namanya.” Emus ikut menegur Anom.

“Sudah tidak apa-apa!” ujar Anom. Dia tetap menggunakan uang itu untuk membeli karcis.

Saat perjalanan pulang. Teman-temannya tertawa geli melihat wajah Anom. Wajahnya tertunduk lesu. Harusnya Anom bahagia karna berhasil memasukan gelang itu ke sasaran. Dan berhak membawa hadiah yang didapatnya.

“Jangan sedih begitu, Nom!” Doni menggodanya. “Harusnya wajahmu berseri-seri, sudah berhasil membawa hadiah itu.”

Anom hanya tersenyum kecut. Kini dia malah diliputi rasa takut. Bagaimana dia mengatakan pada ayah, tentang ulahnya.

Tiba di rumah, diletakkan tiga buah tutup gelas plastik diatas meja. Itulah hadiah yang ia dapat. Setelah menghabiskan uang dua puluh ribu. Uang yang dia ambil dari amplop titipan untuk ayahnya.

Anom membuka amplop coklat itu lagi. Anom menelan ludah kebingungan. Kuberikan saja pada ayah dan pura-pura tak tahu apa-apa. Coba saja, salah satu gelang itu masuk ke hadiah kulkas atau lemari! Aku tidak akan takut seperti ini.

Malam itu Anom menyampaikan pesanan Pak Yusuf pada ayah. Dan segera kembali ke kamarnya. Namun Anom malah tidak bisa tidur dengan tenang.

Sore itu di teras depan rumah. Anom asyik membaca buku yang baru dipinjam di perpustakaan sekolah tadi siang. Buku kumpulan cerpen anak Indonesia.

“Darimana yah?” sapa Anom ketika melihat ayahnya baru tiba di rumah.

“Dari tempat Pak Yusuf.”

Deg! Jantung Anom terasa lemas.

“Kenapa kamu, Nom?” tanya Ayah saat melihat mimik Anom yang berubah pasi

“Anu yah.. itu… hmm…” Anom gelagap hingga buku yang dipegangnya terjatuh. Ayah mengambil buku itu. Lalu duduk di kursi sebelah Anom. Ayah membuka halaman-halaman buku itu.

“Kisah teladan orang yang amanah.” ucap ayah Anom seperti membaca judul buku.

Anom masih terdiam. Sekilas dilihatnya wajah Ayah yang membaca buku itu.

“Ayah..” kata Anom pelan. Ayah menoleh.

“Ada apa, Anom?”

Dengan wajah yang memucat dan terbata-bata Anom memberanikan diri menceritakan semua perbuatannya.

Wajah Pak Anom memerah menahan marah mendengar pengakuan anaknya. Namun Pak Anom tidak membentak Anom. Dia hanya menghela nafas dan menepuk punggung anaknya itu.

“Ceritanya patut dibaca.” ujar Pak Anom sambil masuk meninggalkan Anom di teras depan.

Anom mengambil buku yang tergeletak di atas meja. Dibukanya seluruh halaman. Mencari cerita yang Ayah bilang tadi. Namun tak ditemui judul seperti yang Ayah sebutkan. Ya, judul cerita yang ayahnya sebutkan tadi tidak ada. Anom mengerti, ayah sudah tahu semua perbuatannya sebelum dia berterus terang. Dalam hatinya Anom berjanji tidak mengulangi perbuatannya lagi.

***

baca yang lain juga yuk di Fiksiana Community

jangan lupa gabung di Group Fiksiana Community




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline