Miduana, begitulah nama dari sebuah Kampung Adat yang terletak di Desa Balegede, Kecamatan Naringgul, Kabupaten Cianjur. Kampung ini memiliki daya tarik yang tinggi karena keunikan budaya dan keindahan alam pegunungan yang mempesona.
Kampung ini dikelilingi oleh hamparan pesona pegunungan yang membuat lingkungan dan udara menjadi sejuk nan asri. Struktur perumahan masyarakat pun masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka, selain itu, cara berpakaian dan kehidupan mereka masih menggunakan pakaian tradisional seperti totopong atau ikat kepala khas sunda dan baju hitam khas sunda. Masyarakat di Kampung Adat Miduana dipercayai merupakan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan budaya Sunda yang kental.
Kampung ini memiliki luas area 1.041 hektar persegi, meliputi 11 rukun tetangga atau RT, dan 4 rukun warga atau RW yang dihuni oleh 280 kepala keluarga yang terdiri dari 577 laki-laki dan 650 perempuan, jika ditotalkan maka penduduknya berjumlah 1.207 jiwa.
Yang menjadi fun fact dari Kampung Adat Miduana adalah masyarakatnya yang relatif memiliki umur yang panjang, menurut data terakhir ada 4-5 orang yang sudah berumur 100-an lebih. Namun, ada beberapa fakta menarik mengenai Kampung Adat Miduana dikutip dai berbagai sumber:
1. Miduana Kampung keturunan Pajajaran?
Menurut cerita masyarakat, Miduana sendiri merupakan lanjutan dari kata "Midua" yang berarti dua, terbelah, atau terbagi dua. Kata "Midua" disematkan karena keberadaan kampung ini berada di antara dua Sungai yakni Cipandak Hilir dan Cipandak Girang. Kedua Sungai tersebut sebenarnya cabang arus Sungai yang kemudian bertemu di Sungai Cipandak (utama).
Ketika pertama kali ditemukan, kampung ini dulunya Bernama "Joglo Alas Roban" yang dipimpin oleh Eyang Jiwa sadana dengan sembilan kepala keluarga lainnya. Kokolot atau sesepuh Kampung Adat Miduana Abah Yayat, mengatakan, Desa Balegede atau Kampung Adat Miduana ini tidak bisa dilepaskan dari dua tokoh kembar bernama Eyang Jagat Nata dan Eyang Jagat Niti. Keduanya merupakan keturunan dari Kerajaan Pajajaran yang mencari tempat pemukiman guna menghindari kemelut Kerajaan Sunda.
Sehingga Jagat Nata dan Jagat Niti berhasil mendirikan perkampungan baru dan membuat tempat pertemuan atau pasmoan dengan koleganya dari berbagai wilayah dalam rumah besar Bernama Balegede yang artinya tempat perjumpaan besar.
Cerita selanjutnya Eyang Jagat Niti memiliki anak yang Bernama Eyang Jagat Sadana yang berhasil menemukan lahan strategis untuk membuka perkampungan baru yang kemudian dikenal dengan dusun Miduana yang tidak jauh dari Balegede, sehingga Eyang Jagat Sadana mendapat tempat spesial dari warganya sebagai pembuka hutan belantara atau dalam Bahasa sunda disebut dengan 'leuweung peteng' menjadi tempat tinggal untuk menetap selamanya.
Mereka kemudian secara turun temurun beranak-pinak hingga saat ini dan tetap memegang pikukuh karuhun asli Padjajaran dengan aturan yang disepakati bersama.