Lihat ke Halaman Asli

[Hari Pahlawan] PAHLAWAN 45 MENIT

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13840882441029163546

“Seperti makan buah simakalma. Dimakan mati ibu, ditelan mati bapak. Tuhan, bantu aku keluar dari dilema ini.”

Gadis cantik berparas melayu itu masih larut dalam kesedihan dan terperangkap dalam dilema.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23 lewat 15 menit. Ia belum juga menulis karya cerpen untuk diikutkan dalam Festival Fiksi Pahlawan (FFP). Ide cerita yang ada didalam benaknya, tak mampu Ia tuangkan. Padahal ide cerita tersebut sudah muncul sejak 15 hari yang lalu, saat FFP diumumkan ke publik. Sementara, kesempatan untuk berkarya di ajang bergengsi itu tinggal 45 menit lagi.

Dia adalah Fatimah, yang baru tiga hari menyandang gelar Sarjana. Ayahnya bekerja sebagai Tukang Ledeng dan Ibunya seorang makelar tanah. Sejak duduk dibangku SMA sampai diwisuda, Fatimah harus membiayai sendiri biaya pendidikannya.

Dengan berbekalkan suara yang merdu dan tubuhnya yang gemulai, Fatimah bekerja sebagai penyanyi musiman dan pelatih tari tradisional. Dari situlah anak pertama dari empat bersaudara itu akhirnya bisa menyelesaikan sekolah dan kuliah.

Banyak orang tidak percaya kalau Fatimah harus membiayai sendiri biaya pendidikannya. Bahkan, ketika masih SMA, seorang Lurah tidak mau menandatangani Surat Keterangan Tidak Mampu yang Ia ajukan. Alasannya, ayahnya digolongkan sebagai Pegawai BUMD dan punya penghasilan tetap. Berbeda dengan profesi nelayan dan buruh lepas dengan penghasilan yang tidak menentu.

Begitulah faktanya. Status tinggi belum tentu melahirkan hasil yang baik. Gaji, penghasilan dan harta benda ayahnya habis untuk membiayai peperangan menumpas kebohongan Ibu. Meskipun demikian, Fatimah tidak pernah menyesal dan berputus asa. Baginya, Ayah adalah seorang pahlawan. Namun yang membuat Fatimah dilema, penjajahnya justru ibu kandungnya sendiri.

Fatimah ingin menulis kisah kepahlawan ayahnya agar semua orang tahu bahwa modal utama yang dimiliki seorang Pahlawan itu adalah kejujuran. Tanpa kejujuran, sulit bagi seseorang melawan berbagai bentuk penjajahan. Terutama kebohongan yang menjajah dirinya sendiri.

Kebohonan adalah musuh terberat dalam diri setiap orang. Kebohongan itu yang harus dilawan terlebih dahulu sebelum melawan bentuk penjajahan lain yang datang dari luar. Pahlawan yang jujur pada dirinya sendiri, akan jujur pada agama, nusa dan bangsa.

Apalah artinya bintang jasa dan gelar kehormatan pahlawan yang didapatkan didunia, sementara di alam kubur mendapat siksa. Di dunia disanjung tapi di alam kubur dipasung. Di dunia merdeka tapi di alam kubur merana. Tentu bukan pahlawan seperti itu yang diharapkan.

Fatimah tidak ingin Ibu yang telah melahirkannya menjadi penjajah. Namun, Ia juga tidak ingin cerita tentang seorang Pahlawan jujur itu terkubur begitu saja. Ia ingin sekali mempublikasikannya. Tapi, Ia masih dibelenggu dilema.

Tuhan, bantu hamba mu memecahkan dilema ini. Hanya Engkau yang maha mengetahui atas segala-galanya”, harap Fatimah.

Kring... kring... kring…

Handphone Fatimah berbunyi. Ia menduga Rosita sahabat karibnya yang menelpon. Kalau seandainya benar, pupuslah harapannya untuk mengikuti FFP.  Fatimah harus mengatakan apa adanya kepada Rosita. Kejujuran akan menyita sebagian waktunya dan menghentikan harapan  untuk mengungkap kisah jujur tentang pahlawan jujur, yang tak lain adalah ayahnya sendiri.

Ternyata benar.

Rosita. +68272772024 …

“Halo Ta…”

“Belum tidur ?”

“Kalau tidur mana bisa aku angkat handhpone”

‘Tumben gadis jujur belum tidur ?”

Tak bisa dielakkan, ahirnya Fatimah pun menceritakan semua yang sedang Ia pikirkan dan rasakan dimalam buta itu kepada Rosita.

Rosita sangat ambisius dan komunikatif. Ia jebolan program studi ilmu politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik ternama. Cita-citanya ingin menjadi politikus ulung dan senat berkwalitas. Lebih jauh, Ia ingin jadi Presiden untuk merubah nasib bangsa ini.

Oh begitu. Cepat dong hubungi Om Boss”, kata Rosita.

“Aku segan Ros, sudah malam”

“Biar aku yang hubungi Om Boss”

“Jangan Ros. Biarkan saja. Aku rela tidak ikut FFP”

“Itulah kamu, harus cerdas juga dong. Om Boss itu kan putra malam. Suka begadang dan menulis hingga larut malam”.

“Betul Ros. Tapi aku tidak ingin menggangu beliau”

“Om Boss sering online di FB-nya hingga larut malam”

“Masak sih ?”

“Itulah kamu, harus cerdas dong. Orang yang cerdas berbohong saja diberi gelar kehormatan. Masuk TV dan terkenal. Apalagi kamu yang jujur ?” katanyamenggeledek.

Bagi Rosita, Fatimah memiliki sifat yang langka. Dalam struktur sosial politik bangsa saat ini, sifat jujur kian sirna. Padahal, kejujuranlah yang mendasari jiwa dan semangat para Pahlawan sehingga mereka rela mati demi kemerdekaan. Mereka tidak pernah takut dengan penghianat bangsa. Itulah sebabnya mengapa kesejahteraan dalam segala bidang di ngeri ini sulit dicapai, karena struktur kebohongan telah merajarela.

Menurut gadis asal Aceh itu, dizaman penjajahan dahulu, struktur kebohongan yang dibangun penjajah kolonial Belanda tidak mampu menembus dunia pendidikan dan orang-orang terdidik. Tetapi sekarang dizaman kemerdekaan, struktur kebohongan sudah menembus perguruan tinggi, pendidikan tinggi, lembaga tinggi, pejabat tinggi, gelar tertinggi, keputusan tertinggi, peradilan dan batas keadilan tertinggi.

Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat. Fatimah dan Rosita masih terlibat percakapan yang serius.

“Tinggal 20 menit lagi Ros, apa mungkin ?”

“20 menit bisa membuat gadis menjadi tidak perawan. 20 menit bisa membuat ayah mu menjadi pahlawan”

“Wih… luar biasa”

Fatimah langung mematikan handpone selularnya. Harapannya untuk mengikuti FFP bangkit kembali.

Fatimah teringat kata-kata ayah. Om Boss adalah sahabat karip ayah. Nama sebenarnya Budi Ornelis. Ayahnya Satria dan ibunya Susilawati. Bila disingkat dan disambung maka menjadi Boss. Sosok pria keturuan Jabar dan Sumbar yang gemar menulis dan membaca itu menjadi sumber motifasi baru.

Waktu terus berlalu. Fatimah mencoba mengaktifkan wifi. Sudah lebih lima menit, sambungan internet belum juga terkoneksi. Ia mengambil modem dan memasangnya. Tapi sayang, pulsa didalam kartu HP dan modemnya tak mencukupi.  Ia gagal mengakses internet. Fatimah pun pasrah.

Tak lama berselang, Rosita menelpon kembali. Ia meminta password supaya bisa membuka akun milik Fatimah.

Biar aku yang mengirimkannya lewat akun kamu

Tapi,..”

Ya sudah, cepat sebutkan

***

Keesokan harinya, Fatimah memeriksa akun miliknya. Ia kaget, cerpen yang berjudul, “Pahlawan 45 Menit” menjadi Head Line dan telah dibaca 5.000 pengunjung. Sungguh luar biasa dan sangat menakjubkan. Dalam waktu 10 jam saja sudah direspon banyak penggemar.

Dalam cerpen itu diceritakan bagaimana seorang ayah menjadi Pahlawan hanya dalam waktu 45 menit. Pahlawan kejujuran bagi anak, sahabat karib dan teman akrab anaknya.

Inilah pernyataan ayah yang sempat ditulis Om Boss :

Kejujuran adalah modal utama perjuangan. Sedangkan kebohongan senjata tajam yang akan menghancurkannya. Kejujuran adalah dasar utama perdamaian. Sedangkan kebohongan adalah musuh yang nyata baginya. Kebohongan sangat dekat dengan diri. Kejujuran adalah bentengnya. Bila benteng itu rapuh, dan diri tertusuk kebohongan, maka sakitnya melebihi ditusuk sembilu. Apalagi datang dari orang dekat kita sendiri. Kebohongan tidak dapat dimusnahkan dari muka bumi ini. Tapi, bagaimanapun hebatnya kebohongan, kejujuranlah yang menang, karena bisa menyelamatkan bumi dan manusia dari kehancuran“.

***

Tiga minggu kemudian.

Panitia festival menetapkan cerpen karya Fatimah sebagai pemenang menyisihkan 500 peserta. Pada malam penganugerahan, Fatimah diminta untuk menyampaikan sepatah kata.

Diatas panggung yang megah, Fatimah berucap

Demi kejujuran, Saya tidak layak menerima predikat ini. Cerpen itu bukan hasil karya saya sendiri melainkan karya orang lain”, ungkap Fatimah.

Spontan hadirin bersorak, “huuuuuuuu”.

Bagi Saya, Pahlawan adalah orang memiliki niat, pikiran dan tindakan yang jujur”, ungkap Fatimah disertai tangisan dan minta maaf kepada panitia, peserta dan hadirin.

Melihat kejadian itu, panitiapun langsung mengeleminir keputusannya dan menetapkan pemenang kedua menjadi pemenang pertama dan seterusnya.

***

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Communitydengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Hari Pahlawan

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline