"Kapan kau pulang?"
"Tadi sore" Jawab laki-laki yang telah ia kenal semenjak masih ingusan, semenjak ia mulai belajar mengenal nama-nama temannya. Sahabat yang biasa hanya sekali sebulan dapat ditemukannya, selain dari itu ia akan terlalu jauh berjarak. Perkuliahan semenjak enam bulan yang lalu telah memisahkannya dari tempat Chandik, kampung mereka. Beruntung temannya itu selalu memiliki kerinduan besar untuk kembali lagi berada dikampung. Awal-awal bulan adalah momen yang patut ditunggu jika ingin melihat tampangnya.
"Pergi membeli durian kita, yuk..." Kata Chandik lagi.
Karena kini zamannya insyaf, memperturutkan kehendak jahil itu sudah lewat masanya. Sudah saatnya belajar dewasa, bertanggung jawab. Sedangkan kini si Tole dan Doyiak pun yang dulunya jarang shalat, kini telah melenggak-lenggok dengan peci yang dipasang melintang di kepala. Membusungkan dada, menebar senyum kemana-mana pada sejawat-sejawatnya yang ditemui dipinggir jalan. Karena kini langkahnya mantap menuju musholla, bukan lagi ke kedai untuk bermain koa. Untuk itu sekarang walau sudah terbitnya selera, tak lagi ada niat menyalurkannya dengan berbuat dosa. Membelinya adalah jalan keluar yang halal lagi mulia. Tidak lagi dengan mencuri yang bisa membuat kita masuk neraka.
"Ayo." Kata Kian "Kebetulan sekali sudah hampir setahun aku tak pernah lagi makan durian"
"Woiii... pergi kau tidak? Kami mau pergi membeli durian ke Tanjung Betung..." Chandik mengumumkannya pada yang lain, bahwa mereka akan pergi kedaerah penghasil durian dikampung mereka itu.
"Iya, pergi ciek" yang akhirnya membuat mereka tak lagi berdua pergi menunaikan kehendak selera itu, berpetualang melewati pematang-pematang kolam ikan dan sawah, walau hari sudah malam.
Gugahan selera oleh durian itu cukup susah dibendung, walau mereka tahu musim ini masih terlalu awal. Masih belajar menjatuhkan buah-buah yang sudah matang, kalaupun ada biasanya isinya akan afkir oleh ulat. Tapi ada logika lain yang membenarkan niat petualangan mereka, di Tanjung Betung pohon durian itu bejibun. Pasti ada beberapa batang yang telah siap menyediakan buah-buah matang yang baik bagi moncong cangok mereka. Maka bergeraklah mereka berempat berbekal satu buah senter yang entah mengapa ditengah jalan mendadak jadi disfungsi yang tak tau sebab, tak mau lagi menyalakan cahayanya. Tapi semangat juang mereka tak turut padam, masih berkeras hati mengayunkan langkah walau sedikit canggung meraba kelam. Pasukan Durianholic ini masih tertawa-tawa menuju rumah Ishaq, teman mereka. Karena sedikit lebih tua dari mereka orang itu dipanggil da Hak.
Jalanan berliku pematang sawah dan kolam itu akhirnya mengantarkan mereka juga kerumah yang di maksud. Rumah da Hak tampak kelam, temaram, dan hanya menampakkan cahaya kecil dari sela-sela dinding papan rumahnya. Rumah itu terlalu menyuruk dari jangkauan jaringan listrik negara, sehingga penerangan lampu cogok saja yang jadi andalan rumah tersebut. Sebelum mereka memanggil-manggil da Hak, mereka meyempatkan diri memandang pohon durian disamping rumah itu. Pohon itu menggelantungkan buah-buah bulat berduri dalam jumlah yang tak terhitung. Hmm.. rasa dan bau harum menyengat yang sudah terbayang dari king of fruit itu telah membajak perasaan ditenggorokkan. Jakun mereka turun naik, dan tak sabaran lagi mengaksikan gerakkan peristaltic saluran pencernaan mereka itu.
"Da Hak... da Hak....!" Chandik memanggil.
"Huuu...." Jawab yang di dalam rumah, tapi bukan suara dari orang yang mereka panggil. Suara itu perempuan, terdengar sudah tak lagi muda. Mungkin emaknya da Hak. "Si Hak pergi kerja proyek, dia tidak dirumah sekarang". Lanjutnya.