Halo kembali. Sekarang saya akan menceritakan salah satu poin menarik dari salah satu kuliah saya yang mungkin belum banyak diketahui orang lain.
Di semester akhir dalam perjalanan saya menempuh pendidikan tinggi, salah satu mata kuliah menarik yang saya sukai adalah Process Safety atau dalam Bahasa Indonesianya adalah Keselamatan Proses Pabrik Kimia. Kuliah ini digawangi oleh Dr. Yogi Wibisono Budhi, yang notabene adalah Kepala Deputi HSE ITB. Tau HSE apa? HSE adalah departemen yang bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keamanan situasi dan lingkungan yang ada di ITB. Jadi jika misalkan ITB mengalami bencana, kecelakaan, atau musibah, maka departemen inilah yang bertanggung jawab untuk menanganinya.
[caption id="attachment_367742" align="aligncenter" width="300" caption="Ini Pak Yogi, kenali baik-baik Kepala Deputi HSE ITB jika suatu saat perlu"][/caption]
Tema minggu ini yang dibahas adalah mengenai toksikologi untuk para insinyur. Kok? Well hell, ya, karena insinyur harus memiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang toksikologi agar proses di pabrik yang dijalankan tidak mencelakakan para pekerja, masyarakat sekitar pabrik, bahkan umat satu kota! Anyway before we go on, sayangnya safety engineer yang ada kebanyakan memiliki background fisika teknik dan teknik mesin. Padahal, note to yourself, kecelakaan di pabrik itu bukan hanya dari peralatan atau mesin semata. Kecelakaan paling parah bisa ditimbulkan oleh kesalahan proses dan reaksi di pabrik, berupa kebakaran dan ledakan yang tidak hanya berisiko bagi pekerja pabrik, tapi apabila terdistribusi di udara seperti gas beracun, maka bisa mematikan orang satu kota. Coba saja cek kecelakaan di Bhopal, India. Dan, feeling humble but honestly proud, hanya orang-orang teknik kimia yang bisa menganalisis dan menjelaskan proses dan reaksi tersebut. Jadi buat para kompasianer yang tinggal di sekitar pabrik, coba sesekali ditanyakan apakah pabriknya memiliki insinyur keselamatan yang berlatar belakang teknik kimia. Kalau ada, mudah-mudahan anda, keluarga, dan rumah anda cukup aman, hehe.
[caption id="attachment_367743" align="aligncenter" width="300" caption="Safety Engineer di Pabrik (Teknik kimia kah?)"]
[/caption]
[caption id="attachment_367744" align="aligncenter" width="300" caption="Kecelakaan di Bhopal India"]
[/caption]
Nah, berkaitan dengan toksikologi tersebut, yang perlu dipahami yaitu bahwa semua bahan adalah beracun dan tidak ada yang tidak beracun. Bahkan air dalam kondisi dan treatment tertentu bisa sangat membahayakan. Sederhananya saja, jangan coba-coba menyuruh penderita gagal ginjal akut yang belum kontrol dan cuci darah untuk minum air satu botol yang biasa kita minum untuk hidup sehat. Fundamentally, tidak ada bahan yang tak berbahaya, hanya cara tak berbahaya yang menggunakannya. Selain itu, dosis yang benar adalah satu hal yang membedakan suatu bahan antara menjadi racun atau obat.
Di sini, salah satu aspek yang harus dipahami oleh insinyur kimia adalah cara bahan beracun masuk ke dalam tubuh organisme atau makhluk hidup seperti manusia, hewan, dan tanaman. Ini penting, karena tanpa pengetahuan dan common sense tersebut, maka insinyur kimia tidak akan bisa aware apakah suatu side bisa membahayakan atau tidak. Aspek ini yang ingin saya ceritakan di sini. Kenapa menarik? Karena saya jadi membayangkan aplikasi yang mirip yang ada di masyarakat, tapi lebih sederhana. Coba teman-teman kompasianer bayangkan, dalam kehidupan sehari-hari kira-kira zat beracun dan bakteri bisa masuk ke dalam tubuh melalui apa saja ya? Well, amat banyak sekali. Bisa melalui makanan dan minuman yang kita konsumsi, air kumur yang kita gunakan, cairan yang menyiram tangan kita, udara yang kita hirup, cairan yang memercik, sentuhan kulit, dan sebagainya. Kebanyakan dari kita pasti cuek-cuek saja masalah ini karena meskipun sebenarnya tingkat sanitasi dan kesehatan negara kita buruk, tapi kita adalah orang dengan kekebalan fisik yang kuat. Ini yang membuat saya sangat bangga walau sebenarnya salah hehe … , bahwa orang Indonesia itu sangat tahan dan sangat adaptable dengan makanan dan lingkungan yang tidak terlalu bersih atau katakan saja jorok. Kalau misalnya anda punya teman orang Jepang, Singapura, atau negara manapun yang kebersihannya top markotop, ajaklah sesekali untuk makan siang atau makan malam dengan menu street food Indonesia seperti pecel, nasi uduk, nasi kuning, urap, dsb. Pilihan mereka bisa jadi hanya dua, yaitu sengsara kelaparan atau sengsara di toilet atau ruang periksa dokter.
[caption id="attachment_367745" align="aligncenter" width="300" caption="Orang bule menikmati street food"]
[/caption]
Nah, karena kekebalan fisiknya yang gak serambo orang Indonesia, maka orang-orang bule seperti Jepang sangat memerhatikan kebersihan dari segala hal yang melibatkan diri mereka. Ini meliputi banyak hal, bahkan sampai ke hal sangat sederhana yang mungkin tidak kita bayangkan, yaitu bersalaman! Ya, salaman. Ini yang diceritakan oleh dosen saya apabila berhubungan dengan rekan dari Jepang. Sebagian orang Jepang yang sangat menjunjung tinggi kesehatan sangat anti dengan yang namanya bersalaman, apalagi bersalaman dengan orang asing. Mereka sangat sadar bahwa persentuhan kulit tersebut dapat menularkan berbagai macam penyakit yang sederhana maupun mematikan. Itu juga mungkin mengapa orang Jepang lebih suka membungkukkan badan apabila berterima kasih atau mengucapkan arigatou.
[caption id="attachment_367746" align="aligncenter" width="300" caption="Sopan santun orang Jepang"]
[/caption]
Bahkan dosen saya sampai bercerita bahwa supir taksi di Jepang sekalipun tidak mau bersentuhan langsung dengan penumpangnya, apalagi jika penumpangnya orang asing. Bisa jadi mereka bahkan memakai masker dan sarung tangan. Saya tidak tahu mengapa mereka sampai seprotektif ini, atau kalau Bahasa kita, sampai selebay ini. Saya pribadi menjadi salut dengan gaya hidup orang Jepang seperti ini, walau di satu sangat gemas juga. Mungkin suatu saat nanti, jika saya bertemu dan berteman akrab dengan orang Jepang, kalau saya sudah tidak sabar, saya akan dengan usilnya memegang tangan atau menepok jidat mereka sambil berkata, uppss … sengaja, hahaha. Dan berikutnya saya pun digampar :p, jadi jangan praktekkan budaya Indonesia yang suka iseng seperti ini, ya.
[caption id="attachment_367747" align="aligncenter" width="300" caption="Ini dia supir taksi jepang (jangan coba-coba sentuh eike)"]
[/caption]
Tapi anyway, bagaimanapun kita harus melihat sisi positifnya. Jadi jangan keburu ilfeel atau tersinggung dengan orang Jepang, apalagi jika mereka tahu kita orang Indonesia dengan tingkat kebersihan dari lingkungan dan gaya hidup yang jauh di bawah mereka. Mungkin kita berpikirnya kok jadi kita yang harus mengerti mereka, sementara mereka pun malah nggak menghargai kita. Kalau saya pribadi, justru hal itu yang harus dijadikan pembelajaran. Kita yang harus beradaptasi dengan kebiasaan dan cara hidup mereka karena mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa dengan gaya hidup seperti itu, mereka lah yang memiliki lingkungan hidup yang lebih nyaman dan potensi usia hidup yang lebih tinggi dari kita. Atau jika kita enggan untuk mengikuti gaya hidup yang mungkin kurang bebas seperti itu, maka kita cukup tahu dan aware saja. Karena bagaimanapun semuanya kembali ke kita untuk memilah-milah mana yang benar dan perlu untuk kita ikuti. Saya sendiri tidak mau menjamin bahwa orang dengan gaya hidup selalu bersih akan pasti hidup sehat. Bagi saya, hidup tetap harus seimbang dan seperti jingle salah satu produk detergen, berani kotor itu baik, hehehe …
Mungkin sekian dulu dari saya. Terima kasih dan semoga bermanfaat. Nantikan sharing-sharing saya selanjutnya dan saya pun sangat terbuka untuk menerima kritik atau sharing dari Anda J
Salam kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H