Bali, Di tengah kekayaan budaya Bali, terdapat seorang tokoh yang menonjol, dikenal luas sebagai Mr. Puisi: Made Putrawan. Selain sebagai pemilik Museum PUMA, yang mengoleksi barang-barang prasejarah, Made Putrawan juga dikenal sebagai penulis puisi tercepat di Indonesia.
Ribuan puisi telah ia ciptakan, beberapa di antaranya memenangkan penghargaan bergengsi. Karya-karyanya menggambarkan keindahan alam Bali, kearifan budaya, dan refleksi mendalam tentang kehidupan.
Made Putrawan tak hanya seorang penulis, namun juga seorang pengagum seni lukis. Ia terpesona oleh karya-karya dari pelukis terkenal, Iwayan Bendi.
Lukisan-lukisan Bendi, yang sarat dengan keunikan dan keindahan, menggugah hati Made Putrawan. Sebagai seorang kolektor seni yang antusias, Made Putrawan mengumpulkan beberapa lukisan langka dan berharga dari Iwayan Bendi.
Pada suatu hari, Made Putrawan mengumumkan rencananya untuk mendirikan sebuah museum seni lukis. Museum tersebut akan menjadi rumah bagi koleksi-koleksi lukisan Iwayan Bendi yang langka, di mana salah satunya akan menjadi lukisan termahal di Nusantara. Keputusan ini diambil untuk menghormati keindahan dan nilai artistik yang terkandung dalam setiap goresan karya tersebut.
Museum PUMA, singkatan dari Primitive Unlimited Museum of Anthropology, yang didirikan oleh Made Putrawan, telah menjadi sorotan sebagai satu-satunya museum primitif pertama di Indonesia.
Terletak di Bali, museum ini bukan hanya sebuah tempat untuk melihat artefak-arte-fak purba, tetapi juga sebuah jendela yang mengarah pada pemahaman mendalam akan warisan budaya primitif yang telah lama terkubur.
Made Putrawan, seorang pengagum yang mempersembahkan segala pengabdiannya untuk memelihara dan memahami kebudayaan primitif, membangun museum ini sebagai bentuk penghormatan terhadap akar budaya Bali yang kaya dan sering kali terlupakan.
Dalam sebuah wawancara, Made Putrawan menegaskan, "Museum PUMA adalah upaya untuk menjaga agar warisan budaya primitif Bali tetap hidup dan berharga. Ini adalah sebuah jalan untuk mengingatkan kita akan akar-akar budaya yang sering kali terlupakan dalam gemerlapnya modernitas."