Yang sampai pada kita tentang segala sesuatu adalah persepsi kita tentang sesuatu tersebut. Ibarat melihat bunga, sesungguhnya bukan bunganya yang kita lihat melainkan pantulan cahaya yang mengenai bunga-lah yang kemudian sampai pada mata kita yang kemudian terlihat. Persepsi kita terhadap bunga tergantung seberapa besar intensitas cahaya yang mengenai bunga tersebut dan sampai pada mata kita. Apabila intensitas cahaya yang mengenainya sedikit, maka kita hanya melihat sebagian atau malah tidak melihat bunga tersebut, pun sebaliknya, apabila intensitas cahaya yang mengenainya terlalu besar, kita akan silau melihatnya. kemudian, apabila cahaya yang terpantulkan kepada kita hanya sebagian, maka kita hanya melihat sebagian dari bunga tersebut. Hal lain yang mempengaruhi penglihatan kita akan bunga adalah jenis dan warna dari cahaya yang terpancarkan kepada bunga tersebut. Kita tidak akan bisa melihat bunga yang hanya terpapar cahaya inframerah, penglihatan kita terhadap bunga yang berwarna merah juga akan bias apabila cahaya yang mengenainya berwarna biru. Jarak juga memiliki peranan yang penting dalam menentukan kualitas dan persepsi kita terhadap bunga tersebut.
Dari permisalan mengenai bunga tersebut di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa apapun yang sampai kepada kita memiliki kecenderungan bias persepsi yang sangat tinggi, padahal itu masih tentang sesuatu yang mampu kita lihat dengan mata ragawi kita.
Jika kita ibaratkan cahaya sebagai ilmu – dengan analogi di atas – , maka intensitas cahaya dapat diandaikan dengan seberapa banyak ilmu yang dipinjamkanNya kepada kita, jenis dan warna cahaya dapat kita andaikan sebagai jenis ilmu yang dipinjamkanNya, jarak dapat kita andaikan sebagai seberapa banyak kita menggunakan ilmu yang telah dipinjamkan oleh Sang Maha Berilmu.
Maka amat sangat besar peranan ilmu untuk melihat sejernih mungkin segala sesuatu yang berkaitan denga kehidupan kita, namun dengan kesadaran kesadaran bahwa apa-apa yang kita lihat (yang tersampaikan) kepada kita hanyalah pantulan dari segala sesuatu tersebut, dan pantulan yang sampai kepada setiap orang berbeda-beda tergantung intensitas, jenis ilmu yang dimiliki setiap individu serta kesediaannya untuk menggunakan ilmu tersebut.
Dengan memegang kesadaran tersebut, kita memberikan ruang untuk lebih mawas diri dan tidak taqlid buta terhadap ilmu yang dipinjamkan kepada kita olehNya, dan bahwa masih banyak di luar sana orang-orang yang dilebihkan ilmunya dari kita. Dengan kesadaran itu pula kita akan senantiasa untuk lebih bersemangat dalam mencari ilmu sebagai bekal kita untuk melihat pantulanNya.
Surabaya, 8 Juni 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H