Lihat ke Halaman Asli

Tren Plant-Based Diet (Pola Makan Berbahan Dasar Tanaman) dalam Upaya Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Diperbarui: 23 April 2021   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://sph.umich.edu/pursuit/2020posts/thriving-on-a-plant-based-diet.html

Tahukah anda bahwa memakan makanan berbasis tanaman atau plant-based food tidak hanya dapat membuat tubuh anda sehat tapi juga mencegah terjadinya perubahan iklim?

Plant-Based Diet sangatlah populer sepuluh tahun belakangan ini. Banyak orang-orang berjuang keras untuk merubah pola makannya menjadi vegan atau vegetarian demi kesehatan tubuhnya. Nyatanya pola makan ini juga dapat memberikan dampak yang baik bagi lingkungan. Sebagian orang mungkin sudah mengetahui bahwa daging sapi yang sering kita konsumsi sehari-hari menghasilkan gas methane dari pertenakan sapi yang berbahaya bagi bumi yang kita tinggali saat ini. Gas methane merupakan salah satu gas penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) selain gas karbon dioksida. 

https://phys.org/news/2017-07-effective-individual-tackle-climate-discussed.html

Pada diskusi ini penulis akan lebih berfokus dampak dari plant-based diet pada lingkungan.

Sebelumnya kita harus memahami sumber dari gas rumah kaca sendiri. Secara garis besar sumber emisi gas rumah kaca terbagi menjadi dua macam yaitu yang bersumber dari manusia dan yang bersumber dari alam. Yang dimaksud bersumber dari manusia adalah emisi gas buangan yang dihasilkan akibat aktivitas manusia seperti penggunaan elektrikal dan emisi gas buangan yang dihasilkan dari industri. Emisi gas yang bersumber dari manusia terbagi lagi menjadi beberapa sektor seperti dibawah ini

https://www.researchgate.net/figure/Annual-world-greenhouse-gas-emissions-by-sector-2005-Herzog-2009_fig8_316544565

Sedangkan yang dimaksud dari alam adalah emisi gas yang memang seharusnya ada di Bumi seperti emisi gas buangan yang dihasilkan dari hewan dan tanaman tanpa adanya keterlibatan manusia pada aktivitasnya. Sebagai contohnya bisa dilihat pada proses terjadinya hujan. Jadi dari sini kita dapat menyimpulkan perbedaan emisi gas dari agrikultur  dan alam. Tindakan agrikultur dapat berkontribusi pada emisi gas rumah kaca (GRK) karena penyediaan makanan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer. Pertanian dan pertenakan secara khusus melepaskan sejumlah besar metana dan dinitrogen oksida, dua gas rumah kaca yang kuat. Hal ini lah yang menjadikan plant-based diet merupakan salah satu upaya dalam pencegahan perubahan iklim (climate change)

Emisi gas yang dihasilkan dari peternakan memanglah lebih berbahaya daripada dari industri pertanian. Hewan ruminansia termasuk sapi, kambing, domba, dan lainnya menjadi hewan dengan pendonor emisi gas terbesar diantara hewan lainnya. Mengurangi makanan dari makanan berbahan dasar daging sangat memungkinkan untuk mengurangi gas buangan di lingkungan. Selain mengurangi penggunaan energi fossil ternyata menerapkan pola makan plant-based menjadi opsi kedua setelahnya sebagai solusi pencegahan perubahan iklim karena emisi gas yang dihasilkan dari pertenakan mencapai 14,5 % dari seluruh total emisi gas rumah kaca yang ada di dunia. 

https://www.provimi-asia.com/en/ruminants

Namun apakah benar dengan menjaga plant-based food diet akan benar-benar dapat menjaga lingkungan? 

Well yang perlu dipahami memproduksi makanan nabati juga membutuhkan ladang. Ladang tersebut juga bergantung pada jenis-jenis tanamann yang akan dipanen. Belum lagi apabila terjadi kenaikan permintaan pasar akan makanan nabati yang membuat petani-petani akan memperluas ladangnya yang bisa jadi dengan cara menebang hutan secara illegal, kesuburan dari tanah itu sendiri dan dampak-dampak lainnya.

Jika ditarik secara garis besar plant-based diet ini sangat efektif untuk diterapkan di negara-negara barat seperti di Amerika Serikat maupun negra-negara Eropa lainnya yang merupakan negara meat centric. Bagi negara seperti Indonesia hal ini bukanlah suatu hal yang perlu dikhawatirkan. Sejatinya masyarakat Indonesia lebih menyukai makanan berbahan dasar daging putih daripada makanan berbahan dasar daging merah. Makanan berdaging warna merah inilah yang diproduksi dari hewan-hewan ruminansia yang notabennya menghasilkan lebih banyak gas buangan daripada hewan-hewan berdaging putih seperti ayam dan ikan. 

Walaupun setiap tahun di Indonesia terdapat hari raya kurban dan memiliki makanan ikonik berbahan dasar daging sapi yaitu rendang, ini tidak menjadikan Indonesia memiliki tingkat konsumen akan daging merah yang tinggi seperti di negara-negara barat lainnya. Di Indonesia sendiri kita telah diberikan pola pikir oleh nenek moyang kita untuk memakan makanan dari tumbuhan lebih banyak. Buktinya sebelum negara barat gempar dengan tren vegetarian dan vegan kita sudah punya produk makanan protein yang berbahan dasar tanaman secara turun menurun yaitu tempe dan tahu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline