Lihat ke Halaman Asli

Masa Sekolah

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu terbangun santai, tidak seperti dulu. Aku ingat bertahun-tahun yang lalu selalu terburu-buru. Bangun tidur memikirkan pekerjaan rumah dari guru, menata buku, dan dikejar waktu. Setiap pagi berangkat menggendong tas berisi belasan buku pelajaran. Dan setiap pagi, angka tujuh selalu menghimpit waktuku. Saat angka tujuh terlewati, maka gerbang sekolah pun terkunci. Selanjutnya tinggal menanti seorang sheriff sekolah, aku pun diadili kadang dimaki, berdiri beberapa jam tanpa henti. Masuk kelas, teman pun tertawa. Dan masalah hilang tak berarti.

Saat upacara bendera, tak satupun mulut mereka terkunci. Semua gaduh berbincang masalah tak penting namun menggelitik. Salah satu berbicara, beberapa langsung menyambar dan menguraikannya seolah-olah menjadi sebuah cerita narasi ala selebriti. Tapi mendadak semuanya hening, ketika mendengar suara batuk sang sheriff dari belakang barisan. Sang sheriff pergi, cerita berlanjut.

Masuk kelas, semuanya terlihat lelah. Beberapa dari mereka asik mengkopi jawaban tugas matematika dari sang guru killer. Guru datang semua hening, wajah takut tergambar dari mereka. Satu persatu, semua ditunjuk ke depan. Sepanjang pelajaran itu, seisi kelas terasa kaku.

Aku ingat ketika seorang teman dengan konyol menirukan beberapa pose foto di akun media sosialku. Begitupun yang lain, semua ditirukan dan kadang digambar di papan tulis. Waktu itu, beberapa teman memilih untuk tidak mengunggah foto-fotonya di media sosial.

Waktu istirahat, digunakan sebagai sarana omong kosong antar sesama teman. Semuanya bercanda panjang lebar namun tanpa isi. Si gendut berdialog dengan fiktif. Ada pula yang memamerkan kendaraan dragnya. Dan kaum perempuan berjejal membicarakan grup korea favorit mereka.

Bertahun-tahun bersama, waktu yang dinanti telah datang. Beberapa tahun berlalu seperti angin. Semua berpisah, tak ada tangis air mata. Semua biasa saja. Mereka melangkah sendiri-sendiri ke jalan yang menurut mereka terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline