Lihat ke Halaman Asli

Khalisa Rakaninda Putri

Halo, saya Khalisa Rakaninda Putri mahasiswi Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta

Menghindari Kekerasan dalam Pacaran yang Mengakibatkan Stockholm Syndrome dengan Healthy Relationship

Diperbarui: 26 Juni 2022   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Hubungan pacaran merupakan hubungan yang menjadi salah satu bagian dari kehidupan sosial remaja serta dewasa awal yang akan berpengaruh terhadap perkembangan emosi mereka baik emosi positif maupun emosi negatif. Terkadang karena seseorang memiliki berbagai perspektif dan tujuan yang ingin dicapai, hal ini tidak jarang menyebabkan hubungan pacaran tidak selalu berjalan lancar. 

Namun perlu diketahui juga bahwa tidak semua orang mampu untuk memiki regulasi emosi dan penyelesaian masalah yang baik. 

Terkadang seseorang juga memilih kekerasan sebagai jalan keluar penyelesaian masalah mereka. Apabila hal ini terus menerus dilakukan akan berujung kepada kekerasan dalam pacarana. 

Wolfe dan Feiling menyebut definisi dari kekerasan pacaran sebagai sebuah upaya dari pasangan untuk mendominasi pasangannya dalam berbagai hal yang nantinya berdampak pada kerugian pasangannya. Kekerasan dalam pasangan ini sangat erat kaitannya dengan toxic relationship. 

Mengingat banyaknya perempuan sebagai korban kekerasan dalam pacaran, hal ini dapat diartikan bahwa kekerasan dalam pacaran termasuk kekerasan pada perempuan. Kekerasan dalam pacaran menempati urutan kedua dengan besaran kasus sejumlah 24%. 

Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2016 menyatakan bahwa tahun 2015 terdapat setidaknya 11.207 kasus yang terjadi pada rumah tangga dan atau relasi personal. Salah satu alasan mengapa terdapat peningkatan kasus kekerasan dalam pacaran adalah karena belum ada pasal-pasal yang mengatur dalam KUHP di Indonesia

Berbicara mengenai kehidupan pacaran remaja, belakangan ini istilah healthy relationship dan toxic relationship mulai populer dan menjadi perbincangan diberbagai kalangan khususnya para remaja yang sedang menjalani masa-masa jatuh cinta dan berpacaran. Namun yang perlu diingat bahwa toxic relationship ini tidak hanya terjadi di hubungan asmara saja, namun dalam hubungan pertemanan, persahahabatan, keluarga, bahkan orang tua juga bisa terjadi toxic relationship.

 Istilah toxic relationship sendiri berarti bahwa hubungan yang beracun,  hubungan yang beracun ini biasanya adalah hubungan yang dipenuhi dengan pertengkaran, ketidakpercayaan, komunikasi yang kurang, dan hubungan yang tidak dipenuhi dengan kebahagiaan. Bahaya dari toxic relationship ini seringkali tidak disadari oleh mereka yang mengalaminya. Mereka cenderung larut dalam hubungan mereka dan tidak menyadari bahwa hubungannya beracun. 

Dalam toxic relationship juga tidak jarang korbannya memilih untuk tetap bersama dengan pasangannya meskipun mereka telah mengetahui bahwa pasanganya toxic.

Beberapa penelitian telah meneliti faktor apa saja yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan korban untuk bertahan terhadap hubungannya meskipun dipenuhi oleh kekerasan, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa korban pada masa kecilnya cenderung pernah mendapatkan kekerasan masa kanak-kanak sehingga mereka lebih menoleransi kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya. 

Stockholm syndrome, merupakan kondisi yang dialami seseorang ketika mereka lebih memilih untuk bertahan meskipun dalam hubungannya mereka banyak disakiti. Stockholm syndrome ini terjadi ketika korban memiliki ikatan yang kuat dengan pelaku sehingga korban cenderung untuk melindungi pelaku, menyangkal, serta menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekerasan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline