Lihat ke Halaman Asli

Putus Asa karena Komunikasi Tidak Efisien

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Gadget kini tak lagi langka. Hampir semua lapisan masyarakat bisa merasakan manfaatnya. Karena penggunaannya yang teramat luas hingga ke lapisan bawah, aksi pencurian pulsa pun belakangan ini mendapat perhatian serius. Jika dibiarkan, tentu hal ini akan mengusik kenyamanan berkomunikasi. Kita tentu tidak ingin izin para operator nakal dicabut, karena dinilai merugikan masyarakat luas. Sebab, jika sampai penggunaan gadget terhenti gara-gara tak ada operator yang bertanggung jawab, dunia kita akan kembali menyempit dan gelap. Jarak akan menjauh. Waktu pun seolah bergulir lamban tak bertenaga. Semangat kehidupan pun akan ikut lumpuh, seperti yang kualami beberapa tahun silam, ketika ketidak-efisienan komunikasi hampir membuatku putus asa.

Ceritanya begini, sejak tahun 2004 saya mulai belajar menerjemah kitab-kitab Arab. Saat itu aku tinggal di salah satu pesantren di Sumenep, Madura. Sesuai arahan Kyai, terjemahanku bisa dipublikasikan penerbit. Aku pun diminta menawarkan terjemahanku. Setelah mendapat beberapa alamat penerbit di daerah Solo, Yogyakarta dan Jakarta, naskah terjemahan yang kuketik manual kukirimkan lewat pos. Satu bulan kemudian, aku baru mendapat surat balasan bahwa naskah telah diterima redaksi, selanjutnya akan dipelajari. Aku diminta menunggu maksimal dua bulan untuk mendapatkan kepastian diterbitkan atau tidak. Dua bulan yang dijanjikan penerbit ternyata tidak membawa kabar baik. Naskahku dikembalikan setelah melewati masa penilaian. Setelah aku terima naskah yang dikembalikan, aku mencari penerbit lain yang kira-kira bisa menerbitkan naskah itu. Dengan prosedur dan ketentuan yang nyaris sama, naskahku kembali melewati waktu demi waktu untuk menunggu pernyataan bersedia atau tidak diterbitkan. Tidak lolos di penerbit kedua, aku mencoba penerbit ketiga, begitu seterusnya. Lama kelamaan, aktualitas naskah terjemahanku mati suri. Penerbit yang ketiga, keempat, atau bahkan kelima teramat gampang untuk menyatakan tidak bersedia menerbitkan, karena tema buku sudah tidak up to date, sudah ada penerbit lain yang menerbitkan, dan sebagainya. Aku lemas.

Nah, itu cerita untuk satu naskah. Aku sempat mengalami komunikasi yang tidak efisien seperti itu sampai tujuh naskah terjemahan. Aku benar-benar putus asa. Ketidak-efisienan komunikasi telah membunuh semangatku untuk berkarya lewat terjemahan. Bersamaan dengan kepindahanku ke NTB, aku seperti melupakan aktifitas menerjemah, karena aku merasa teramat susah untuk dipublikasikan penerbit, apalagi dengan alasan tema sudah tidak up to date, atau sudah ada penerbit lain yang menerbitkannya. Jika itu alasan yang selalu kuterima, kurasa tidak akan bisa bersaing dengan mereka yang “dekat” dengan penerbit, baik dekat jaraknya maupun cara berkomunikasinya.

Aku kembali bergiat di penerjemahan kitab-kitab Arab setelah dari NTB berpindah ke Yogyakarta. Selain memang di percaya sebagai penerjemah tetap karya-karya sastra Arab di salah satu penerbit, di Yogyakarta cukup banyak penerbit yang memublikasikan karya-karya terjemahan. Aku pun mulai leluasa berkomunikasi dengan penerbit. Ketujuh naskahku yang semula kuketik manual, di Yogyakarta kuketik ulang dengan komputer. Dalam sekali tekan tombol, aku bisa mengemail satu naskah ke beberapa penerbit. Selanjutnya, tinggal menunggu balasan. Jika seminggu belum terima balasan, aku proaktif dengan menelpon, atau mengirim sms, dan atau mendatangi langsung ke kantor penerbituntuk menanyakan respon terhadap naskah terjemahanku. Alhamdulillah, tidak lama berselang, dari ketujuh naskah itu ada beberapa yang dinyatakan siap untuk diterbitkan.

Kini aku semakin mantap untuk menekuni terjemahan kitab-kitab Arab. Lebih enam puluh judul buku sudah kuterjemahkan; beberapa sudah diterbitkan, dan beberapa lagi menunggu jadwal terbit. Selain itu, aku juga diberi kesempatan untuk mengedit, bahkan menyusun buku sendiri. Dalam kondisi seperti ini, aku benar-benar tidak bisa lepas dari gadget dan IT. Alat-alat itu tak ubahnya cangkulku untuk bertani buku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline