Lihat ke Halaman Asli

Tantrum

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Raungan tangis Alya tiba-tiba memecahkan konsentrasi siswa di kelas I Bintang. Langkah Bu Indah yang berkeliling menghampiri siswanya tertahan oleh teriakan menyayat itu. Seketika darahku mendesir, padahal tanganku masih di lantai meraih buku di bawah telapak kaki Fais yang tertancap kuat. Aku segera bangkit. Sejurus kemudian kutatap lekat wajah Alya yang meringis. Bulir-bulir yang menetes dari sudut korona itu tak lagi bening, karena sudah menyatu dengan warna merah menyala dari garis memanjang di bawah kelopak mata hingga ke pelipis. Ujung pensil yang runcing jadi saksi ketantruman Fais.

Aku pun membiarkan buku itu tergeletak, kemudian duduk tegak menatap lekat Fais. “Faiiiiiiis…,” teriakku.

Aku tentu geram melihat perilaku Fais. Tapi di sisi lain, salah satu tugasku adalah mengantisipasi kejadian seperti ini agar tidak terjadi. Hari ini aku benar-benar merasa kesucian tugasku telah ternodai. Maka, pikiranku pun mulai mengembara jauh ke depan, membayangkan reaksi kedua orangtua Alya, bahkan keluarga Fais, terhadapku. Apa yang harus kukatakan pada keluarga Fais? Bagaimana jika orangtua Alya menuntut pertanggung-jawaban? Karena tak satu pun jawaban pasti yang kutemukan, aku hanya bisa mengeja nama Tuhan.

Kedua tanganku mencengkeram kuat lengan Fais, seperti rajawali memegang mangsa. Melihat kobaran api di pelupuk mataku, Fais tak berani menatap. Ia meronta. Setiap kali berusaha lepas, cengkeramanku semakin kuat.

“Fais, lihat ibu!” kataku.

Fais menggeleng. Setelah beberapa kali kuulangi permintaanku dan tidak direspon, aku memegang wajahnya, kemudian mendongakkannya. Meski upaya itu harus dilakukan berkali-kali, kami pun akhirnya bersitatap muka. Tempo-tempo Fais mengerlingkan pandangannya ke samping, karena tak ingin melihat kobaran api di bola mataku yang begitu dekat.

“Fais, mengapa kau goreskan pensil tajammu ke wajah Alya? Itu berbahaya, Nak!” tandasku.

Fais bungkam. Tiba-tiba ia menyentakkan tangannya yang kupegang, lalu lari meninggalkan kelas. Beberapa kawannya yang mengerubungi Alya jatuh tersikut, menambah hiruk pikuk suara tangisan di siang itu. Tanpa pikir panjang, aku sedikit menyingsingkan rok panjangku, lalu mengejarnya. Kukira Fais akan lari menyusuri jalan raya hingga ke rumahnya, ternyata ia masuk ke kolong di bawah tangga ke lantai dua. Kedua tangannya dipukul-pukulkan ke tembok diiringi simponi tangisannya yang tak beraturan. Mungkin itulah cara Fais untuk melepaskan simpul-simpul yang menyesakkan dada hingga menyempitkan saluran napasnya.

Aku memeluk Fais dari belakang. Sayang sekali, jurus ini tidak berhasil meluluhkan perasaannya. Kucoba jurus kedua; membelai-belai rambutnya. Tidak lama kemudian, Fais membalikkan badan, kemudian memelukku. Tangisannya masih pecah. Desau napasnya masih turun-naik. Aku balas memeluknya sembari tetap membelai rambutnya. Setelah yakin betul Fais siap diajak bicara, aku membuka suara.

“Kami semua sayang Fais.”

Fais tidak bergeming. Tubuh mungilnya masih disandarkan di bahuku.

“Ya, ibu dan semua teman-teman di kelas sayang Fais,” kataku lebih lanjut.

“Tapi Alya tidak,” sergah Fais.

“Alya juga sayang kok,” bantahku.

“Tidak.”

“Fais kok bilang begitu?”

“Alya selalu memandangku. Kadang ia berbisik dengan Rani, lalu mencibirku.”

“Karena itukah kau sabetkan pensilmu yang tajam ke wajah Alya?”

Fais menunduk. Aku menghela napas.

Fais anak yang spesial. Meskipun tidak ada gejala yang mengkhawatirkan kemampuan akademisnya di kelas, tapi hiperaktifnya sering membahayakan orang lain, mulai dari temannya, gurunya, bahkan aku; shadow teacher yang secara khusus ditugaskan untuk mendampingi Fais dan memberikan bimbingan individual di kelas. Bekas gigitan Fais masih tertato di punggung telapak tanganku. Jika sudah “tantrum”, benda yang kita pikir aman bisa berbahaya di tangan Fais. Tempat pensil, buku paket, rantang makanan, bahkan sepatu bisa melayang dan mendarat di tubuh siapa pun yang tak diduga. Kejadian terakhir ini pun di luar dugaan. Dalam hitungan detik, berbarengan dengan perhatianku yang teralih pada seonggok buku di lantai, tangan Fais telah mencederai Alya.

Aku mendorong tubuh Fais yang masih tersandar di bahuku. Seperti tiang bendera yang diterpa badai, aku telah mendirikannya tegak kembali. Kini Fais sudah berani menatapku, karena kobaran api yang bergejolak di bola mataku telah kupadamkan, lalu kuganti dengan balon-balon udara kesukaannya.

“Alya bukan tidak sayang Fais, tapi Fais tidak tahu kalau Alya sayang Fais,” kataku lirih.

“Fais mau tahu?” lanjutku.

Fais mengangguk.

“Begini, sekarang kita kembali ke kelas. Nanti Fais minta maaf pada Alya. Jika Alya memaafkan Fais, berarti Alya sayang Fais. Jika tidak, berarti Alya tidak sayang. Setuju?”

Fais mengangkat jari kelingkingnya di depan wajahku. Aku pun tersenyum sembari melingkarkan kelingkingku di jarinya. Setelah itu, kami berdua kembali ke kelas.

Suasana kelas masih belum kondusif, tapi Alya sudah berhenti menangis. Bahkan, di bawah kelopak matanya sudah terpasang handsaplast. Tampaknya Bu Indah sudah bertindak sigap. Fais pun menghampiri Alya dengan langkah ragu-ragu. Tidak lama kemudian, aku bersorak sembari bertepuk tangan. Seluruh siswa pun ikut bertepuk tangan.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline