Lihat ke Halaman Asli

Khalid Walid Djamaludin

Social Researcher

Nasib Rakyat di Tangan Penyelenggara Negara yang Tak Berintegritas

Diperbarui: 16 Juni 2021   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan ini, marak berita -- berita mengenai persoalan hukum dan politik, salah satunya persoalan korupsi kronis yang hingga saat ini masih menjadi fenomena klasik yang degeneratif, baik dari sisi kegiatan penegakan hukum, dan juga kelembagaan penegakan hukum yang mengurusi persoalan tersebut. 

Mulai dari masifnya penangkapan tersangka tindak pidana korupsi dari kalangan birokrat, politisi, dan pengusaha, ringannya sanksi bagi tersangka kasus tindak pidana korupsi, dan hantaman bertubi -- tubi terhadap lembaga anti-rasuah, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta masih banyak lagi distorsi -- distorsi lain yang membuat nasib bangsa dan negara ini semakin mangkhawatirkan. 

Seakan -- akan korupsi dikembangbiakan, dan tidak dapat terelakan lagi, para birokrat, politisi dan pengusaha sudah tidak berpegang teguh pada nilai -- nilai integritas menjadikan nasib rakyat menjadi terkatung -- katung dan tidak menentu.

Pertanyaan, mendasar untuk memulainya, yakni ketika para penyelenggara negara, mulai dari birokrat, politisi, dan penegak hukum sudah tidak bisa dipercaya lagi, rakyat harus percaya pada siapa? Bagaimana nasib rakyat di tangan para mafia berkedok penyelenggara negara yang korup? 

Inilah beberapa pertanyaan yang kemungkinan luput dari perhatian rakyat kebanyakan, dan sesungguhnya rakyat menjadi objek bualan -- bualan para penyelenggara negara yang tidak manusiawi, bermain di atas penderitaan rakyat. Kebanyakan rakyat mungkin tidak terlalu sadar akan nasib mereka di tangan para penyelenggara negara "culas", karena mereka fokus untuk memikirkan hidup mereka yang semakin hari semakin sulit, mencari cara agar dapat bertahan hidup. 

Rakyat ibarat sapi ternak atau perah yang diikat bagian kepalanya dengan tali sembari mereka pecut untuk tetap berjalan dan diperah susunya maupun tenaganya.
Lanjut kepersoalan utama yang tentunya sangat berdampingan dengan masyarakat, yakni korupsi kecil (petty corruption). Bentuk dari korupsi kecil dapat bermacam -- macam, yang kemudian marak diperbincangkan, misalnya pungli (pungutan liar), suap kecil untuk meloloskan suatu kepentingan atau dari jeratan penegakan hukum, retribusi ilegal, manipulasi tagihan listrik atau pembayaran lain untuk keuntungan perseorangan atau kelompok, dan banyak lagi. Contoh yang kerap terjadi, yakni pada saat pembuatan maupun perpanjangan SIM (Surat Izin Mengemudi). 

Yang penulis potret dari beberapa pengalaman ketika mengurusi SIM, yakni terkait ketidakterbukaan informasi mengenai harga per pelayanan SIM, dan mereka para oknum memanfaatkan prosedur -- prosedur tersebut untuk meraup keuntungan sendiri atau kelompok, bahkan mereka itu saling "kongkalikong" untuk melakukan hal tersebut. Mereka memanfaatkan celah dari sisi pemohon (masyarakat) yang notabene kurang paham mengenai informasi -- informasi valid. 

Masyarakat terkadang juga menyepelekan hal tersebut, dikarenakan mereka ingin semuanya cepat atau yang penting jadi, sehingga mereka ketika diminta oleh oknum sebesar yang tidak ditentukan dalam aturan dan dengan menyalahi prosedur, masyarakat memberikan sejumlah uang sesuai instruksi si oknum. Secara tidak langsung, masyarakat yang seperti juga ikut melanggengkan tindakan korupsi kecil tersebut. 

Sementara itu, yang berhubungan dengan usaha rakyat, yakni retribusi ilegal lapak usaha oleh oknum petugas terkait, ataupun yang dilakukan oleh oknum preman dan oknum dari yang mengatasnamakan LSM tertentu (preman yang dilegalkan). Tindakan tersebut sangatlah merugikan masyarakat khususnya para pelaku usaha.
Banyak sekali bentuk -- bentuk korupsi kecil lainnya yang hingga saat ini marak, menggerogoti sendi -- sendi masyarakat. 

Salah satunya berkaitan dengan masa pandemi COVID-19 ini, marak oknum -- oknum yang memanfaatkan situasi krisis seperti ini, di antaranya memasang tarif ambulan medis untuk korban COVID-19, juga pelayanan -- pelayanan lain, di mana seharusnya diterima secara gratis oleh masyarakat. Kemudian, biaya ilegal untuk penguburan jenazah yang terindikasi COVID-19, di mana besaranya terkadang tidak masuk akal sehat.

Pada dasarnya, kelanggengan korupsi kecil yang berdampingan langsung dengan masyarakat oleh oknum -- oknum penyelenggara negara yang tidak bertanggung jawab tersebut disebabkan oleh budaya tidak peduli, yang penting proses cepat, tidak bertele -- tele, sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang lumrah. Padahal, hal tersebut sangat merugikan masyarakat itu sendiri.  Mereka akhirnya lama -- lama terbebani tanpa mereka sadari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline