Lihat ke Halaman Asli

Harga Minyak Dunia Terus Melambung, Perlukah Kenaikan BBM?

Diperbarui: 12 Oktober 2018   19:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

katadata.co.id

Pendahuluan

Harga minyak pada beberapa pekan terakhir terus menerus mengalami kenaikan. Pada hari Jumat tanggal 5 Oktober 2018 harga minyak Brent crude oil mencapai harga 85.01 USD/bbl. Sedangkan WTI crude oil mencapai harga 74.86 USD/bbl. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor geopolitik yang terjadi di dunia.

Faktor pertama penyebab turunnya harga minyak antara lain adalah sanksi nuklir Iran yang telah ditetapkan oleh Amerika terhitung tanggal 4 November 2018. Sanksi AS sudah mengekang ekspor dari Iran. "Ekspor dari produsen terbesar ketiga OPEC jatuh lebih cepat dari yang diperkirakan dan akan lebih buruk menjelang gelombang kedua sanksi AS," kata Stephen Brennock, analis di PVM Oil Associates.

Faktor kedua penyebab kenaikan harga minyak dunia adalah kondisi perekonomian di Venezuela yang semakin melemah. Mengutip The Economist, Kamis (8/2/2018), banyak ekonom dan bankir bank sentral menyebut kondisi inflasi yang dialami Venezuela sebagai hiperinflasi. Istilah ini biasanya digunakan untuk mendeskripsikan kondisi di mana harga konsumen naik setidaknya 50 persen dalam sebulan. Hal ini berpengaruh terhadap total produksi Venezuela yang akan merosot tajam dan mengurangi suplai pasar.

Faktor ketiga adalah Permian Bottleneck Effect di Texas. Cekungan Permian di Texas menjadi pemimpin produksi seiring produksi minyak AS yang telah mencapai rekor tertingginya sepanjang masa. Namun, tingginya produksi menyebabkan kemacetan(bottleneck) mengingat pipa pengangkut minyak mentah terisi lebih cepat dibandingkan perkiraan sehingga menekan harga di kawasan. Hal ini menyebabkan proses produksi dari lapangan ini terganggu.

Dengan naiknya harga minyak dunia yang menembus US$80 bbl/hari, Indonesia sebagai negara pengimpor minyak mendapatkan beban berat atas dampak naiknya harga minyak dunia. Pengamat Energi Komaidi Notonegoro berpendapat bahwa tingginya harga minyak dunia cenderung berdampak negatif terhadap Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Meski, Pemerintah menerima untung juga dari kenaikan harga minyak tersebut. Komaidi Notonegoro menjelaskan, "Kalau konsisten mekanisme subsidi, kenaikan harga minyak cenderung negatif terhadap struktur APBN. Ada tambahan penerimaan, sisi lain tapi ada beban subsidi."

Meskipun Indonesia mendapat kerugian dari kenaikan harga minyak karena pengeluaran pada impor minyak bertambah, akan tetapi, kenaikan harga minyak juga menguntungkan pada bisnis hulu migas di Indonesia karena mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Akan tetapi, penghasilan dari sisi hulu tidak dapat menutup pengeluaran dari sisi import hilir.

Kenaikan harga minyak mentah berpegaruh kepada membengkaknya subsidi yang ditanggung Pemerintah atau PT Pertamina. Saat ini Pemerintah memutuskan untuk menahan harga bahan bakar solar dan minyak tanah.

Selain harga solar dan minyak tanah yang ditahan Pemerintah, harga dari premium yang sudah dipatok oleh Pemerintah juga tidak ikut naik.

Pemerintah memang tidak mensubsidi premium, tetapi beban subsidi itu beralih ke Pertamina dan PT PLN (Persero). Selain itu, program BBM satu harga turut membebani keuangan Pertamina, ditambah dengan kewajiban penyaluran kembali Premium di Jawa dan Bali.

Padahal harga keekonomian Premium berdasarkan hitungannya antara Rp8500 hingga Rp9000 per liter, dan Pemerintah mematok harga Rp6450 per liter. Menurut Komaidi Notonegoro, Pemerintah harus menyesuaikan harga bahan bakar itu sendiri, agar bisa meringankan beban yang diterima oleh Pertamina dengan menaikan harga BBM.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline