Perebutan blok rokan antara PT Pertamina dan PT Chevron Pacific Indonesia akhirnya menemui jalan akhir. Pemerintah secara resmi menyerahkan Blok Rokan ke PT Pertamina untuk mengelola blok tersebut setelah kontrak berakhir pada tahun 2021. Sebelumnya, blok ini dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia sejak 8 Agustus 1971. Blok rokan tercatat sebagai blok dengan produksi minyak paling besar kedua di Indonesia.
PT Pertamina berhasil merebut blok rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia setelah memberikan penawaran yang lebih tinggi kepada pemerintah dari segi produksi, penerimaan negara dan bonus tanda tangan berdasarkan hasil dari kajian tim 22 wilayah kerja. Penawaran yang diberikan pertamina antara lain, bonus tanda tangan mencapai US$ 783 juta atau Rp 11,3 triliun, pendapatan negara untuk 20 tahun kedepan mencapai US$ 57 miliar atau Rp 825 triliun.
Selain itu, PT Pertamina juga memiliki komitmen untuk menggunakan Enhanched Oil Recovery pada blok tersebut untuk meningkatkan produksi pada blok tersebut. Cadangan minyak yang berada di blok rokan diestimasi sekitar 500-1,5 miliar barel setara minyak.
Proses transisi pengelolaan dari PT Chevron Pasific Indonesia kepada PT Pertamina akan diawasi oleh SKK Migas guna menjaga tingkat produksi pada blok tersebut. Selama semester I tahun 2018, lifting Rokan sebesar 207.148 barel per hari. Dengan beralihnya pengelolaan blok rokan kepada PT Pertamina, menurut Plt Direktur Utama PT Pertamna, Nicke Widyawati, Produksi dari blok rokan dapat menekan impor minyak sehingga dapat menghemat US$ 4 Miliar/Tahun dikarenakan produksi Blok Rokan yang tinggi.
Selain itu transfer teknologi dan work culture yang selama ini menjadi rahasia perusahaan dapat dipelajari dan diaplikasikan ke lapangan Pertamina yang lain. Terlebih dengan asumsi produksi minyak nasional hingga tahun 2021 tetap, Pertamina yang semula berkontribusi atas 19% produksi minyak nasional di tahun ini akan menjadi 46% di tahun 2021.
Namun kita semua tentu juga tidak ingin kasus di Pertamina Hulu Mahakam yang semester 1 tahun 2018 ini tak mencapai target APBN pasca mengambil alih Blok Mahakam dari Total EP Indonesie sejak 1 Januari 2018 terulang kembali. Sebagaimana kita ketahui bahwa PHM hanya mencapai 83% targetnya. Seberapa fatalkah hal ini?
Dengan hitung-hitungan sederhana , untuk harga 1 MMSCFD = + 1000 MMBTUD bila dikalikan harga rata-rata gas di Indonesia yaitu 6 US$/MMBTU menjadi 6000 US$/Day. Dengan angka produksi gas PHM yang defisit sekitar 184 MMSCFD selama 1 semester atau 6 bulan, maka defisit pemasukan di APBN bisa bernilai = 6000US$/D/mmscfd 184 mmscfd x 70% split Pemerintah x 30 Day/Month 6 Month = 139.1 Juta US$ atau setara dengan 2.02 Triliun Rupiah.
Semoga dengan diakuisisinya Blok Rokan ini, Visi Pertamina untuk Menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia bisa tercapai, tentu dengan komitmen dan usaha yang kelas dunia pula.
Oleh: Muhammad Hamdan Abdillah, Abdel Mohammad Deghati, Khalid Umar
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H