Lihat ke Halaman Asli

Sumpah Pemudi (Refleksi Pemudi)

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Delapan puluh empat tahun sudah sejak awal mula pergerakan pemuda diabadikan dalam momen sumpah pemuda, 28 Oktober 1928. Saat itu, berkumpul pemuda dan pemudi yang sama-sama mengikrarkan diri, bersumpah untuk negara Indonesia. Saya rasa perlu kita perhatikan, bahwa saat itu, ketika masih zaman penjajahan sekalipun, para pemudi Indonesia peka dan sadar akan tanggung jawab mereka yang besar. Sebagai agent of change, pembawa angin segar perubahan negeri –yang saat itu masih dalam bayang-bayang kolonialisme, menuju cita-cita kemerdekaan.

Peran Pemudi

Menelusuri pentingnya peran pemudi saya mengelompokkannya ke dalam beberapa aspek. Pertama, perannya yang tiga (agent of change, social control dan iron stock),mahasiswa. Perannya sebagai agent of change dapat muncul dari keadaan negeri yang dirundung masalah tiada berujung seperti krisis kepercayaan terhadap pemerintah, korupsi, kemiskinan, pendidikan, pengangguran dll. sehingga mendorong jiwa-jiwa kaum muda untuk memimpin perubahan yang pada hakikatnya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan masalah-masalah yang ada, pemerintah mengeluarkan beberapa penyelesaian dan kebijakan-kebijakan yang tentu saja dengan perannya yang kedua mahasiswa dapat mengkritisi serta mengawal keberjalanannya. Selanjutnya, idealisme tangguh mahasiswa dirangkum dalam perannya sebagai iron stock. Kedua, perannya sebagai calon pembangun generasi mendatang. Setiap dari kita tentu menginginkan generasi yang akan melanjutkan kehidupan mendatang yang lebih baik dari saat ini. Melalui ibu-ibu yang sejak muda memiliki idealisme tinggi-lah salah satunya akan lahir generasi-generasi yang berkualitas.

Namun pada faktanya, saat ini kebanyakan dari para pemudi justru terjebak dalam arus kehidupan yang membuat pikiran mereka tidak jauh dari bagaimana mengikuti tren, menjadi perempuan-perempuan pembebek mode. Bahkan setelah mereka diperkenalkan dan disetarakan hak-nya mengenyam pendidikan dengan laki-laki. Persoalannya lebih jauh lagi, karena sistem pendidikan yang ada saat ini menciptakan keluaran ‘mesin-mesin pabrik yang kaku’, yang membuat para wanita yang sudah tercerahkan dengan berbagai pengetahuan berorientasi untuk mencari penghasilan (materi) yang berlimpah tak jarang dengan meninggalkan kewajibannya sebagai pembangun generasi kuat di masa yang akan datang. Tidak semuanya merupakan murni keinginan para perempuan-perempuan ini untuk mengeksplorasi diri mereka di luar, namun misalnya asumsi lingkungan yang menuntut bahwa perempuan dengan pengetahuan yang tinggi tak ‘pantas’ hanya hidup sebagai ibu rumah tangga, pembangun generasi. Bukan masalah mengeksplorasi diri maksimal di luar rumah, namun berorientasi materi (padahal seharusnya bukan tanggung jawabnyalah) yang membuat hal ini bermasalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline