Merujuk fungsinya sebagai sarana edukasi, idealisme media juga seakan-akan pudar.
Entah kenapa akhir-akhir ini sangat sulit memilih media berkualitas, sering kali media terlihat seperti hanya mementingkan rating dari pada edukasi.
Apalagi jika sudah memasuki kontestasi politik ada media seakan-akan haus akan keberpihakan dan setelah kontestasi itu usai keberpihakan itu berubah menjadi sebuah rasa cinta kepada penguasa.
Problem di media cukup kompleks Didukung oleh polarisasi media sosial membuat kita kebingungan membedakan mana hoax dan mana fakta.
Terbukti dengan informasi yang didapatkan oleh penggunanya hanya informasi yang mereka sukai setelah itu muncul stigma jelek kepada orang yang mereka tidak sukai.
Ini membuat media kehilangan ruhnya sebagai media edukasi. Pemahaman yang terjadi adalah pemahaman sesuatu yang mereka sukai tanpa mempelajari padangan orang lain yang tidak sepemahaman.
Ketika pemerintah mengkampanyekan toleransi sebagai identitas bangsa indonesia yang beragam namun berbanding terbalik di media sosial muncul perdebatan yang katanya membicarakan kebenaran namun nyatanya membicarakan tentang kejelekan.
Muncul konten - konten yang menjadikan agama sebuah komedi dan menyudutkan golongan yang menurut mereka tidak mempunyai rasa toleransi dan content creator tersebut tidak menyadari mereka juga tidak paham, apa lagi mengamalkan toleransi itu sendiri.
Menjadi sebuah harapan penulis, media bisa ternetralisir dari elit politik dan partai. Media harus bisa mengembalikan ruhnya sebagai sarana edukasi. Media juga Mendidik para generasi penerus agar tidak terdistrack oleh polarisasi media. Problematika ini menjadi tanggungjawab semua elemen masyarakat agar tercipta lingkungan yang kondusif dan generasi muda terdidik dengan baik tanpa ada kontaminasi dari hal apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H