Bentuk yang tak berbentuk, wujud yang tak berwujud dan rasa yang tak berasa adalah pertanda matinya akan sebuah kenikmatan untuk sebuah ketulusan.
Tarikan kuas yang seharusnya terlukis apik diatas kanvas, ukiran pahat yang seharusnya apik terukir, dan tarikan warna sang pelukis pada kanvas lukis yang seharusnya mampu menjadi saksi, kini semua bias tak berbentuk dan tak berasa sebagai bukti makna untuk hancurnya sebuah tata.
Rasa yang tak tertata dan telah melayu di beberapa purnama, kini mencoba kembali bangkit dan mekar untuk sekedar hidup dan membuktikan bagaikan keindahan yang memiliki tanggungjawab hidup sebenar-benarnya hidup.
Lantas, kemana perginya sang pengacau yang sangat kacau, kemana perginya sang penyembah bukan tuhan dan kemana perginya sang pengikut hartawi? Ada, semuanya masih tertata dan terlakon seapik-apik lakon yang selaras bagaikan dalang ketemu sang wayang yang tak melawan.
Kini perlahan rasa itu mulai menata dan melawan untuk kembali tumbuh kekar di dalam kemerdekaan sebuah alam yang tak lagi terkekang dan mengekang. Perlahan rasa itu mulai bangkit walau dipapah tak terarah untuk diajarkan kembali bagaimana menjadi sang penabur benih cinta oleh Tuhan rasa.
Kini sang Tuhan rasa akhirnya hadir untuk sekedar lancang mengadili didalam pengadilan sang pengadil. Sang Tuhan rasa kini datang untuk menjadi sang dalang keadilan pada sebuah wayang yang selama ini diadili tanpa adil dan tidak berkeadilan.
Brebes, 17 Mei 2020
KBC-24 | Kompasianer Brebes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H