Disecarik kertas, ku goreskan kata demi kata sebagai pelampiasan tata dalam pikiran, tanpa emosional.
Diiringi gemricik air hujan diamping rumah serta gemuruh halilintar yang menyala-nyala, menjadi teman dikala ku rampaskan tata hati dalam sebuah sastra.
Tiba-tiba penerangan pun mati dan seketika buyar. Buyar dan goresan disecarik kertas berubah menjadi coretan-coretan tak beraturan. Kata demi kata hilang tertimpa oleh emosional.
Lantas aku terdiam dan diam dengan penuh diam. Aku berfikir, apakah ini bagian dari pengadilan tuhan? Tidak, bukan dan belum tentu.
Aku yang tak mampu menjadi aku, tak akan pernah mengerti seperti apa pengadilan sang tuhan. Aku hanya si kecil ciptaanya yang hanya memiliki kesombongan tanpa kesadaran.
Lantas aku berteriak digelapnya malam, siapa aku? dimana? Aku yang tak pernah mengerti siapa aku.
Brebes, 6 Maret 2020
KBC-24 | Kompasianer Brebes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H