Lihat ke Halaman Asli

Ketika Sulungku Menapak Remaja, Ia Menjadi Lebih Galak...?

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13516057611284431449

“Pokoknya Bunda enggak boleh ke luar negeri. Walaupun cuma dua tahun. Dua tahun itu lama, Nda. Sudahlah, Bunda buka toko baju saja dan jualan di sini. Gak usah kemana-mana lagi,” gerutu N1 ketika saya meminta pendapatnya tentang sejumlah wacana yang tengah saya pikirkan.

“Kenapa enggak boleh? Apa N1 pikir Bunda ini ke luar negeri mau bersenang-senang?  Bunda ini kan ingin memperdalam ilmunya Bunda...” sahut saya.

“Sudahlah Nda! Daripada ke luar negeri dua tahun, lebih baik jadi caleg saja. Kalau jadi, kan hanya lima tahun tapi tetap di Indonesia,” jawab N1 dengan wajah yang masih mengerenyit.

Hmfffhhh....

Sulungku, N1, sudah menapak remaja. Kelas 6 SD. Tahun depan insya Allah ia sudah akan masuk jenjang SMP. Ia memang menjadi lebih galak kepada saya. Hal itu pun sering kali ia akui kepada saya.

“Kok Kakak lihat-lihat, Kakak ini makin besar kok makin galak ya,  Nda? Sedikit-sedikit suka mau marah...” tuturnya beberapa kali.

“Masak sih? Kayaknya enggak tuh,” sahut saya.

N1 terdiam dengan mata menerawang...

Ah, putri kecilku yang terlahir di usia kandungan 36 minggu lantaran ketuban pecah pasca saya begadang mengetik tugas kuliah ternyata sudah mulai remaja. Ia bisa menilai dirinya. Perubahan fisiknya sudah mulai terlihat. Ia mulai mengeluh tentang urusan bau badan. Setiap kali saya goda bahwa N1 sudah remaja, ia selalu menolak.

“Kakak ini masih kecil, Nda. Paling juga baru haid waktu SMP,” serunya.

“Ukuran remaja sekarang ini tidak bisa hanya diukur dari sudah haid atau belum. N1 ini sudah termasuk memasuki usia remaja. Sudah mulai ada perubahan cara berpikir, juga sudah ada perubahan fisik kan...........” goda saya sambil  senyum nyengir.

“Mmmm, anak Bunda sudah masuk remaja, Bunda semakin tua ya... Ntar lagi sudah masuk limapuluh tahun.....” kata saya.

“Ahhhhh, Bunda ini mesti deh selalu ngaku kalo umurnya sudah limapuluh tahun terus. Bunda itu masih muda. Kakak gak mau Bunda tua.....” jerit N1.

Hmffffhhh...

N1...

Di sekolahnya, ia memang berusia paling muda untuk angkatannya. Seharusnya ia masih duduk di kelas 5. Lantaran itulah saya tidak pernah menargetnya untuk menjadi langganan juara 1, 2 atau 3 seperti saya dulu. Seiring usia dan pengalaman, saya menyadari bahwa memiliki prestasi akademik itu penting, tetapi bukan satu-satunya yang terpenting. Masih banyak hal penting lainnya yang juga tidak boleh diabaikan atau dianggap kalah penting daripada prestasi akademik. Saya mengajarkan N1 untuk menyukai belajar agar kelak ia melakukannya dengan sepenuh hati sehingga belajar menjadi kebutuhan baginya dan bukan sekedar kewajiban.

N1...

Ia selalu awas setiap kali mendengar tangis saya ketika bersujud. Meski sudah saya tahan, tetapi ia kadang turut bersujud pula hanya untuk memastikan pendengarannya apakah saya menangis atau tidak.

Ia selalu menatap tajam mata saya ketika berair.

“Kenapa Bunda menangis?” tanyanya.

“Kalau N1 sudah besar, N1 akan tahu bahwa perempuan seringkali menangis tanpa harus ada alasan. Aneh ya? Tapi itulah perempuan. Terkadang kita sendiri sulit memahami diri kita, apalagi orang lain. Perempuan itu cenderung menggunakan hati. Gampang tersentuh perasaannya. Sudah, gak usah terlalu dipikir. Nanti N1 pelan-pelan bisa paham maksudnya Bunda...” jawab saya sembari dipeluk N1 erat.

Ya, N1 sudah semakin peka hatinya. Ia bisa menatap mata saya dengan bahasa yang tidak bisa saya selami maknanya. Tapi saya tahu, ada sesuatu di kepalanya yang tengah ia pikirkan jika saya tampak berbeda dari biasanya. Ia selalu tahu jika saya sedang bermasalah dengan hati saya. Dan ia semakin paham betapa beratnya mengasuh anak-anak kecil dengan tangannya sendiri karena ia kerap kali mengeluh pula ketika saya memintanya untuk menjaga N2 dan N3...

N1, ada doa terselip di balik nama yang saya hadiahkan kepadanya.Ia sungguh menjadi penghiburan untuk saya.  Ia tidak akan banyak bertanya ketika saya sedang bersedih. Ia hanya memeluk sembari mengelus-ngelus pundak saya untuk menguatkan. Tapi tunggu dulu, itu kalau N1 sedang baik hatinya....

Kalau sedang galak...

“Bunda itu kok dengar adzan gak langsung sholat sih! Segerakan sholat, Nda. Nanti kalau doanya kakak gak terkabul, itu bisa jadi gara-gara Bunda yang suka menunda-nunda sholat....” pernah suatu hari N1 menegur saya yang masih duduk mengetik meski adzan Dhuhur sudah usai.

“Sudahlah Nda, setiap orang punya hak mau berteman dengan kita atau tidak. Terserah jika Fesbuk kita diblokir atau sudah tidak suka berteman dengan kita. Itu memang haknya...” ketus N1 pada suatu hari.

“Bunda ini harus adil. Kalau N2 dan N3 dipeluk lama-lama atau dipangku lama-lama, berarti kakak ya juga harus dipeluk atau dipangku lama-lama. Kakak ini kan ya juga anaknya Bunda......” komplain N1 jika saya terlalu lama berdekatan dengan N2 dan N3.

Mmmm, tak banyak ingatan saya tentang N1 yang galak. Ia sesungguhnya tidak galak. Tapi ia memang sedang berproses menjadi seorang remaja dan kelak menjadi wanita dewasa. Saya bersyukur dapat mendampinginya memasuki remaja. Meski tak setiap hari saya bersamanya, tapi saya meyakini telah mengupayakan sebaik mungkin untuk menjadi orang pertama dan utama dalam membangun karakternya. Hafalan 2 juz-nya sungguh menjadi penyejuk hati. Lantunan suaranya ketika mengaji dengan tartil sungguh menjadi pelipur lara. SMS-nya yang selalu menanyakan keadaan saya sungguh membuat saya terharu.

Putriku...

Ia tidak terlalu suka membaca tulisan-tulisan saya tentangnya. Ia lebih suka membaca coretan puisi saya atau tulisan saya tentang kisah kehidupan orang lain. Ia suka menyelidik dan menanyakan siapa orang yang saya tuliskan kisahnya dalam setiap tulisan saya. Ia juga selalu ingin memastikan siapa orang-orang yang suka mencibir saya atau yang membuat saya menangis. Ia selalu tahu keadaan saya jika bersedih dan ia akan menatap lama mata saya jika saya sering diam dalam waktu yang lama.

Putriku...

Ia selalu ingin menjadi seperti saya. Ia ingin bisa menulis. Ia begitu ingin wajahnya ada di koran. Ia ingin menjadi juara 1 untuk menunjukkan bahwa ia juga bisa seperti saya ketika seusianya. Ia ingin memakai kacamata. Ia ingin memakai jilbab seperti cara saya berjilbab kain. Bahkan, ada 1 yang pernah membuat saya tidak habis pikir... Ketika Bapak saya menarik-narik hidungnya agar sedikit lebih mancung, N1 marah. Katanya, “Sudahlah Pak, aku gak usah ditarik-tarik hidungnya seperti itu. Gak papa aku pesek. Yang penting aku kayak Bunda...”.

Upsssss....

“N1!!!!! Kok sampai sebegitunya sih ke Bunda. Kalau Bunda pesek, ya bukan berarti N1 juga harus pesek. Kalau bisa ya mestinya lebih mancung dong. Masak sampai urusan pesek juga ditiru....” cerocos saya sambil geleng-geleng kepala menahan geli.

N1...

Bunda selalu mencintaimu, Sayang. Maafkan Bunda yang tak bisa selalu ada untukmu. Maafkan Bunda yang tak bisa sempurna untukmu. Maafkan Bunda yang tak bisa selalu memenuhi harapanmu. Apapun yang terjadi, cinta Bunda takkan berkurang untukmu...

Surabaya,

Ketika sepi dan sedih kembali menghantui...

Ketika air mata kembali jatuh...

Ketika lelah menghampiri...

Ketika rindu melangit...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline